Minggu, 12 Oktober 2008

TAK ADA LAGI CINTA

Oleh: Sunarno

Lelaki itu berlari dan terus berlari. Mengejar bayang sendiri. Menapaki jejak-jejak kabut yang kian mengelam. Tersaruk jatuh bangun, menciumi bau anyir darah sendiri. Belantara kabut menyesak dada diterjang tanpa perhitungan. Luka memar telah menyatu bersama nyeri kepedihan hati. Ketika ditemui kampung tak lagi punya nyawa langkahnya terhenti. Tercekat oleh kabut tebal yang tak lagi mungkin ditembus. Sesobek kesadaran mengendap mencari ingatan tentang sepenggal berita pagi di kota Wonosobo sehari yang lalu.

Berita pagi sekilas mengutip semburan asap tebal setelah subuh jatuh. Satu bagian ceruk sebelah barat Pegunungan Dieng menggelepar. Jiwa melayang tak terhitung jumlahnya setelah tanpa sengaja menghisap asap tebal bertuba. Belum juga sempat menikmati segarnya oksigen pagi hari di ladang atau sekedar duduk di atas jengkok berdiang di depan anglo menghangatkan badan sambil meneguk segelas kopi panas diseling jagung rebus panenan sendiri. Bumi di atas pusar orang dewasa adalah lautan racun yang siap membius apa saja yang bernafas. Manusia atau ternak tak ada diskriminasi. Matahari tak sempat menampakkan diri.

Racun itu tiba-tiba lahir dari rahim bumi tepat di halaman Sekolah Dasar Inpres. Ceruk Dieng dengan ketinggian 1800 m dpl bumi rekah membentuk cekungan kawah. Tak ada lembaga pemerintah yang telah sempat memprediksikan. Tidak juga lembaga pemantau aktivitas gunung berapi. Mungkin Dieng dianggap telah mati. Gugusan kawah selama ini justru jadi sumber tontonan murah dan pendapatan daerah yang efektif. Asap belerang meliuk-liuk tanpa tuba justru menghangatkan penuh pesona. Mengundang banyak orang-orang bule untuk menghirupnya.

Lelaki itu meraung keras. Tak ada lagi yang bisa dibanggakan. Anak-anak, istri, ladang yang hampir panen tertelan semburan racun. Tak habis mengutuk diri mengapa harus pergi meninggalkan mereka. Mengapa musti turun ke kota, hanya membunuh waktu tidak penting benar. Kebutuhan pupuk untuk tanaman sayuran telah tak ada. Obat-obatan serangga belum saatnya dibeli. Hanya benar-benar sekedar membunuh waktu.

"Maafkan aku anakku. Maafkan aku istriku!"

Kabut menggeliat. Pagi merangkak lambat.

Lelaki itu kembali berlari. Berpacu meninggalkan kampungnya yang sepi. Meninggalkan jejak-jejak kenangan yang takkan mungkin terlupakan. Air matanya telah menyusut kering. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai berkibar menentang angin. Sisa-sisa asap pekat masih saling menelikung. Nafasnya tersangkut di tenggorokan. Tak mau ambil peduli terus saja berlari dan terus berlari. Lembah ngarai dijejaki. Jatuh bangun tak jadi rintangan yang cukup berarti. Belasan kilometer jarak terlampaui. Nafasnya kini benar-benar hampir putus. Dadanya menyesak menahan nyeri. Debu tebal membungkus badan, menyatu dengan keringat dingin menciptakan lapisan daki yang kian mengental.

Matahari tersamar menerobos kabut.

Di tanah datar tiba-tiba ia menjatuhkan diri, tepat di depan sebuah pemakaman tua. Bersimpuh, tidak bergerak, juga tidak menggumam. Ia hanya menatap lurus pada deretan nisan yang mengabut. Tak berkedip. Ingin menembus hingga ke kedalaman makam. Pelan-pelan pipinya menghangat. Ada buliran bening merayap. Sekonyong-konyong lelaki itu meraung keras. Mencakar-cakar tubuh sendiri. Teringat akan anak istrinya yang ditelan asap. Berkelebat bayangan bagaimana anak istrinya berjuang keras mempertahankan nafas hingga akhirnya kaku tak berdaya. Sesak penuh racun. Tak sempat menyelamatkan diri. Tangan menggapai-gapai dalam kehampaan kemudian lunglai tanpa daya.

"Maafkan aku anakku, istriku!"

Lelaki itu segera menguasai diri kembali. Ragu-ragu hendak masuk atau tetap saja di luar. Angin mempermainkan rambutnya. Berkibar kesana-kemari membawa pengap bau tubuh sendiri. Anyir darah mengalir dari tulang pipi. Diusapnya lambat-lambat. Telah mengental bercampur daki yang kian menebal. Deretan kabut menari-nari membelai setiap lekuk tubuh pegunungan. Menampar pepohonan, juga deretan batu nisan, membelai basah rerumputan. Menciptakan sebentuk nyeri di pipi lelaki itu. Rumah di seberang jalan tak ada tanda-tanda kehidupan. Di jalanan tak ada sesuatupun yang melintas. Lengang. Entah yang tersisa menyambung nafas ke mana. Tak ada jejak yang mampu menjelaskannya.

Sekali lagi lelaki itu meraung keras.

"Istriku! Anakku! Kalian dimana..??"

Tak ada jejak-jejak yang mungkin dilacak. Tak ada tanda-tanda yang bisa dibaca. Hanya gema suaranya sendiri yang menyelinap ke tulang pendengaran. Selebihnya kabut yang kian memekat.

Mata lelaki itu menyapu sekeliling. Seluruh batu nisan diamati lekat-lekat. Mondar-mandir tak berbilang. Tiap pahatan nama tak luput dari perhatian. Tak satupun ditemukan guratan nama yang teramat dikenalnya.

Isak tangis tak tertahankan. Berkelebat secepat kilat senyum manis anak semata wayang. Mengajaknya bermain berkejaran di belakang rumah. Atau merengek meminta dibelikan mainan yang bisa berbicara. Canda tawanya masih memenuhi ruang kepala lelaki itu.

Masih terngiang kata-kata istrinya saat dipelaminan. Katanya ingin mempunyai lima anak laki-laki semua. Mirip para kesatria pewaris Astina.

"Biar nanti membantu bapaknya mengurus ladang."

"Yang membantumu di dapur?"

"Tak usah dipikirkan!"

Nyatanya baru dikaruniai seorang anak kini harus terpisahkan.

****

Langit memuntahkan awan.

Lelaki itu menantang langit. Menunjuk lurus ke gumpalan awan. Tak dipedulikan rintik-rintik mulai membasahi wajahnya, membasahi kepalanya, seluruh tubuhnya.

“Tuhan, harus kemanakah kucari anak istriku!” di sela isaknya yang kembali pecah lelaki itu melirih gumam sembari terduduk lemah.

Ditimang kembali segala ingatannya. Terseok tersaruk jatuh bangun demi memuasi keinginan bertemu orang-orang tercinta. Hilang takut, ngeri, perih, pedih dan juga logika. Menerobos kabut, menerjang lebatnya ilalang serta duri-duri tak dipedulikan. Basah kuyup oleh guyuran kabut, keringat dan kemudian renai gerimis telah menciptakan gigil yang kadang juga igauan. Masih juga tak ambil peduli.

Sepercik ingatannya menghadirkan kesadaran yang justru kemudian terasa ada keanehan pada apa yang telah dilakukannya. Tujuan mencari anak istri justru ke arah yang semakin menjauhi kampung halaman. Menuju pemakaman entah yang sama sekali tak dikenalinya.

Kesadaran yang hanya sepercik itu membulatkan kembali tekad lelaki itu untuk melacak jejak-jejak kelamnya kabut. Mengayun langkah kembali meski perih telah menggerogoti tubuhnya.

Lelaki itu tak mau terlambat yang kedua kali. Berlari dan kembali berlari. Menerobos gerimis, membelah semak belukar tak lagi ambil peduli. Entah jalan yang telah dilalui atau belum tak lagi dipertimbangkan. Hanya kali ini sedikit lebih hati-hati jangan sampai salah lagi memilih jalan.

Rintik-rintik itu kian deras. Kian keras. Tak dipedulikan gigil membuatnya limbung. Angin mendesir menambah hujan kian nakal, menampar-nampar bebatuan dan juga rerumputan. Hujan kian deras, angin menampar kian keras.

Lelaki itu tak lagi mampu mengenali sekeliling. Tamparan angin tersekat tak sampai masuk ke telinganya. Jatuhnya awan yang menggedor-gedor tiap jengkal dinding-dinding bangunan bahkan tubuhnya sendiri itu tak lagi terekam oleh ujung-ujung syarafnya. Arus besar menghanyutkan setiap jengkal kesadaran lelaki itu.

Purwokerto – Kuningan, 2001/2008 (di muat di Majalah Husnul Khotimah Edisi 14)

Sabtu, 13 September 2008

PUISI-PUISI di MAJALAH HK

DIENG AGUSTUS

Perapian menyengat tinggal arang

Asap mengukir kepalsuan angan

Meliuk-liuk

Bau kemenyan menyedak

Aduh pengap

Angin mendesak minta tempat

Secangkir kopi tak lagi hangat

Sebongkah jagung mampir ke

Obrolan tak tentu asal bicara

Atap langit tinggal sejengkal

Berkelebat membalik senja

Engkaukah itu?

Yang bikin gigil cemara kaku

Tak ada gerimis kadang bersalju

2000

KEMARAU

Debu berputar menyambar dedaunan

Rongsokan berserakan beterbangan

Memainkan lagu ombak

Harmoni semesta sajak

Melodi pertarungan

Sejak matahari lagi ternakar

Awan tak sanggup mengumpul

Mata air pindah ke manusia

Tak lagi punya air mata

3/98

KABUT ITU TURUN

(Dieng suatu hari)

Embun memeluk erat batu beku

Nafas menekan dada hingga sesak

Selimut tebal menggulung sepi

Tak jua beranjak

Tanpa perapian penghangatan

Pagi-pagi matahari tergadaikan

Bumi kaku menenggak malam

Langit kian tak ada jarak

Gunung merunduk terbalut kaku

Cemara hanya mampu berjajar gigil

Rumah-rumah memutih ditelan kabut

Kampong mati senyap

Embun memeluk erat batu beku

Daun-daun resah dalam igau

Melayang-layang tanpa tempat berpijak

Aku sujud dalam sunyi

2000

AKHIR RAMADHAN

Bulan ini penuh harap

Sejengkal telah pergi

Mengais-ngais sisa

Masih kutemui

Masih kudapati

Sedang nyawaku tak kumaknai

Sujudku belum tunduk

Rukukku belum khusyu’

Rumahku belum kokoh

Tiang-tiangnya masih rapuh

Digerogoti rayap kemunafikan

jalanMu sering kulalui

ya Ghafur ampunkan hamba

awal 2000

CERPEN

PAGEBLUK

Oleh: Sunarno

Aku tercenung di depan batu nisan. Belum lama berselang para pengantar jenazah kembali pulang. Sebuah kematian yang teramat kuat lekat dalam ingatan. Ayahku adalah orang keempat. Tidak sampai bilangan mingguan. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Nyaris aku menggugat Tuhan. Berkelebat secuil curiga teringat cerita ilmu sesat. Materi di luar pelajaran mengaji masa kanak-kanak.

"Ayo Di, kita pulang!" Ahmad ternyata masih ada disampingku. Menggamit pundakku lembut. Aku manut saja. Tanah merah segera kami tinggalkan.

"Aku bisa memahami perasaanmu Di! Meskipun demikian kita harus yakin bahwa ini merupakan kersaning Gusti Allah. Bahwa takdir Allah tak mungkin kita tolak". Rupanya Ahmad menangkap kelebat curiga.

"Tapi darah itu Mad?"

"Masih ingat kan Di, kata Ustadz Amir saat kita sama-sama mengeja juz amma?"

Ahmad menyeretku ke masa lalu. Saat-saat indah di surau di seling cambukan rotan Ustadz Umar. Tidak pernah memukul benar kecuali demi keseriusan kami mengaji. Tapi peristiwa di liang lahat itu mneyita sebagian besar pusat kesadaranku.

"Kenapa musti ayahku? Kenapa… ah, tidak! Astaghfirullah!" kutahan kuat-kuat untuk tidak menyebut laku menyimpang. Meski hati kecil tatap meragu. Teringat kata Dokter Mono tiga orang sebelumnya mengidap muntaber. Muntah-muntah dan menggigil kedinginan. Ada yang nyaris gila. Lantas ayahku? Tak selazimnya mayat-mayat. Saat dimiringkan ada kucuran darah dari mulut.

"Kita tunggu berita dari Dokter Mono. Kita sebagai manusia sudah berikhtiar. Ternyata Allah menghendaki lain. Aku yakin itu penyakit yang wajar. Sudahlah Di! Yuk, kita jamaah Dhuhur!"

* * * *

Dokter Mono dating ke Dukuh Kopen tak sendirian. Alat-alat pengasapan sebagai buah tangan. Warga kopen diberi pengertian. Deretan kematian harus segera dihentikan. Syaratnya masyarakat harus memberi dukungan. Bukan sekdar mengiyakan. Tapi nyata-nyata sarang nyamuk harus ditiadakan. Tak ada kata terlambat, tidak mengenal batas kadaluwarsa. Zat malation diyakini bisa mencegah korban berjatuhan. Jentik-jentik nyamuk tak lagi bisa berkembang. Nyawa manusia terselamatkan. Endemic demam berdarah bisa dimusnahkan. Asal tak satu sudutpun terlewatkan. Harus serentak. Aku masih dengan sepenggal keraguan. Benarkah itu penyebab kematian ayah? Darah di liang lahat itu sangat sulit untuk kulupakan. Bukan maksudku meremehkan kepiawaian Dokter Mono. Tidak sama sekali. Ini di luar jangkauan ilmu kedokteran. Entah menurut Ustadz Amir.

Dokter Mono tak bosann-bosannya memberi pengertian. Kematian memang urusan Tuhan, tapi kita layak mengupayakan kesehatan. Usaha dulu, tawakal kemudian. Dokter juga para mantri puskesmas tak pernah lepas menyambangi kampung. Kebersihan lingkungan selalu digalakkan. Rumah gedhek atau gedongan tak ada pembedaan. Program ini meski berkelanjutan. Ustadz Amir mempertegas dalam khutbah jum'atan.

Warga Kopen tak ada tuntutan. Wajar tak banyak mengenal ilmu kesehatan. Memerah susu tetap jadi menu harian. Kematian empat warga bukanlah pertanda suram. Percaya akan usaha Dokter Mono dan kawan-kawan. Anak-anak kembali riang bermain di pelataran. Entah jelungan, mungkin pula jamuran, sambil menikmati purnama. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tapi aku tetap merasa kehilangan. Alhamdulillah tak lagi memendam bayangan permainan supranatural. Itu sekedar dongeng anak-anak, yang kini tak lagi layak. Tinggal potongan-potongan kenangan.

Tiba-tiba Kampung Kopen menjerit.

Kentongan tanda lelayu bertalu-talu. Tak ada berita sebelumnya orang sakit parah. Orang-orang penuh Tanya. Bergegas menjumpai kenyataan mendiang baru saja muntah-muntah dan mengeluh kedinginan. Konon beraknya campur darah. Tidak sampai berganti bulan belasan nyawa hilang. Dokter Mono geram malation ternyata tak juga mempan. Puskesmas kalang kabut tak mengerti makna kejadian. Jentik-jentik nyamuk sudah dipastikan tanpa menyisakan generasi. Saying kematian yang teramat membingungkan tak lagi terhindarkan. Merobek ketenangan Kopen. Bupati dan Dinkes gerah merasa kecolongan. Berita meluas secepat angin menjalar. Kopen menjadi berita besar. Saying berita suram.

Semuanya geram. Entah apa yang musti dilakukan. Dokter saja keheranan. Kopen jadi muram. Entah apa yang menyebabkan kejadian itu dating. Banyak desas-desus berseliweran. Kebetulan memang habis ada pertunjukan wayang. Praktis jadi salah satu sasaran kemarahan. Aku nelangsa emikirkan itu. Pastilah beban yang ditinggal jauh lebih berat dari apa yang pernah aku rasakan. Bukan tak sanggup melangsungkan upacara kematian. Tapi hati serasa disayat-sayat oleh ketidakpastian. Kejadian berlalu tanpa kejelasan. Ditindih tuduhan-tuduhan tanpa kenyataan.

"Ini gara-gara Pak Wondo. Kita kena pagebluk." Mbah Ranu marah-marah ketika malam-malam kami sedang jaga di gardu ronda.

"Pak Wondo? Apa yang telah dilakukannya terhadap kita? Sepertinya tak ada apapun." Lik Tugi tak mengerti arah pembicaraan Mbah Ranu sambil mengunyah kacang goreng.

"Coba perhatikan sebelum kematian si KArto itu, Pak Wondo kan baru saja nanggap wayang sewengi nutug. Anak-anak kita pada kepincut, tidak beringsut hingga ayam jago ramai bersahutan menyambut pagi menjelang…"

"Lantas hubungannya apa Mbah, wayang yang ditanggap pak Wondo dengan kematian bapakku?" potongku cepat. Aku tidak sreg dengan omongan mbah Ranu. Ayahku yang dipergunjingkan. Aku pernah menaruh syak pada seseorang. Tapi kini aku lebih meyakini scenario sang maha dhalang. Bukan dhalang yang diatnggap Pak Wondo itu. Dialah sang maha penentu segalanya.

"Oalah to Le! Kamu tto anaknya Ki Karto itu! Syukurlah kamu ada di sini, jadi kamupun harus tahu…" Mbah Ranu tiba-tiba diam. Seakan sengaja meneror perasaanku. Darahku memenuhi ubun-ubun.

"Sudahlah Mbah apa maksudnya, jangan membuat orang bingung begitu.: pinta Kang Bejo kemudian.

"Tak adakah kalian satu orangpun yang curiga?"

"Akh aku semakin tidak mengerti Mbah. Memangnya apa yang telah dilakukan oleh Pak Wondo. Ia menyembelih kambing dibubuhi racun begitu? Toh, masih banyak di antara kita yang tetap segar bugar. Tanda-tanda keracunan pun tidak ada." Lik Tugi menanggapi dengan guyon.

"Ya, benar kita telah diracuninya!"

Aku tersentak. Tidak mungkin. Itu mustahil. Saying kata-kata itu hanya berhenti di kerongkongan. Ustadz Amir yang sedari tadi diam nampak gelisah. Tak ada satupun di antara kami yang mempunyai bukti. Lik Tugi terbengong-bengong. Kang Bejo tak jadi menyantap kacang goreng.

"Kita sedang kena pagebluk karena Pak Wondo itu syaratnya kurang kalau tidak mau dikatakan menolak. Itulah ujud racun itu." Mbah Ranu kembali merobek ketidakpastian.

"Syarat? Syarat nopo to Mbah?"

"Oalah Le, kamu memang masih terlalu muda untuk mengerti, tapi bapakmu itu korban pertamanya. Kamu tentu tidak akan pernah lupa dari mulut…"

"Cukup Mbah! Jangan ungkit-ungkit itu lagi!" seketika aku berdiri tegak. Memotong kata-kata Mbah Ranu. Entah kekuatan dari mana hingga tata krama terhadap Mbah Ranu kuterjang. Aku seolah sedang membela diri atas vonis yang tak semestinya terhadap ayahku. Meram padam mukaku. Tak tahan saat-saat menegangkan di liang lahat itu diungkit-ungkit orang. Ustadz Umar memegang tanganku lembut memberikan ketenangan.

"Tapi ini kenyataan Le. Bapakmu jadi tumbal pertama atas laku lancing Pak Wondo dalam membuat sesaji. Mungkin ia sengaja menolak permintaan ki dalang. Rasa-rasanya kok mustahil kalau ki dalang sendiri yang berbuat senekat itu. Kalaupun lupa, bagaimana mungkin seorang dalang lupa pada pantangannya sendiri. Sejak dulu Pak Wondo kan orangnya begitu. Anti sesaji-sesajian."

"Tidak! Itu tidak benar! Kematian bapakku tidak ada sangkut pautnya dengan…"

"Le, kamu belum banyak tahu merah hitamnya hidup ini. Siapa saja bisa berbuat licik untuk keuntungan dirinya, keluarganya atau juga kelompoknya. Tak peduli nyawa orang lain jadi taruhannya. Manis di mulut belum tentu sesuai dengan kenyataan."

Omongan Mbah Ranu termakan juga oleh banyak orang. Seperti angin tak terbendung. Segera menyebar hingga ke setiap telinga penghuni kampung. Pembelaanku nyaris tak bermakna. Ustadz Amir belum juga mau ambil bagian. Dokter Mono pun tak sanggup membendung arus yang tak pasti.

Aku terkesiap. Astaghfirullah. Sejauh itukah? Ini sudah kelewatan. Tuhan dipersamakan dengan makhluk-makhluk yang takjelas juntrungannya begitu. Tuhan tidak membutuhkan sesajian. Ini tidak bisa dibiarkan. Kusampaikan keresahanku pada Ustadz Umar.

"Ada benarnya juga kata-kata Mbah Ranu!" komentar Ustadz Amir membuatku limbung. Nyaris tak percaya. Ustadz Amir orang yang paling aku percaya ternyata…

"Tapi Tadz?" aku jelas-jelas protes, tak habis mengerti mengapa Ustadz Amir kini telah berubah.

"Nanti duluu aku belum selesai."

"Apa maksudnya?"

"Tunggu besok jum'at!"

Aku tak puas. Ustadz Amir tetap tak mau melanjutkan. Desas-desus tetap terbawa angin. Entah apa yang terjadi pada Pak Wondo. Betapa pedihnya dianggap sebagi sumber petaka.

"Benar adanya kita sedang kena pagebluk. Bukan karena laku seseorang di antara kita. Kita semua telah sombong pada Tuhan. Merasa telah kaya dengan susu-susu yang kita perah tiap pagi. Padahal siapa yang mengalirkan susu itu? Pernahkah kita menunaikan sesuai dengan haknya? Ada sebagian yang harus kita sisihkan buat hati kita. Nyatanya tidak demikian. Tuhan murka kepada kita berupa pagebluk. Tuhan dalam mneimpakan pagebluk tidak hanya memilih orang per orang tapi semua warga. Entah dia itu kyai atau pencuri. Semua memiliki tanggung jawab yang sama. Pagebluk ini akan segera berlalu kalau kita bersedia kembali kepada Tuhan…" di khotbah jumat yang dijanjikan Ustadz Amir mencoba mengajak kembali pemahaman masyarakat tentang musibah.

Nah, lho jadi…

Purwokerto, Maret – April, 2002

(Dimuat dimajalah Husnul Khotimah Edisi September 2008)

Membaca Itu...!

Bagi alumni SD Negeri Gunungsari Kecamatan Cimahi kata-kata: Membaca itu…! Memiliki makna tersendiri yang senantiasa terkenang dan dapat dilanjutkan dengan penggalan kalimat yang berbeda. Penggalan kalimat itu merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seorang srikandi pendidikan di Desa Gunungsari. Penggalan kalimat yang bukan sekedar mengeluarkan kata-kata akan tetapi penggalan kalimat dengan tujuan menggugah dan memotivasi siswa didiknya untuk senantiasa maju, terutama bagi yang memang perkembangan kemampuan membacanya terlambat bila dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.

Menurut ibu yang telah 40 tahun mengabdi sebagai PNS di Sekolah Dasar ini, membaca itu indah. Filosofinya dengan membaca kita bisa mengenal dunia luar tanpa harus pergi. Semuanya terlihat jelas. Kalau tidak bisa membaca bagaimana bisa mengetahui dunia luar pergi tidak membaca juga tidak. Dengan membaca itulah gudang ilmu bisa dibuka.

Alumni SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Kuningan ini mengemban amanah sebagai guru PNS sejak tahun 1967. pertama kali di tempatkan di SDN Cikandang Kecamatan Luragung. Setahun kemudian dipindahkan ke SDN Gunungsari (waktu itu masih termasuk wilayah Kecamatan Luragung, sekarang telah berdiri sendiri menjadi Kecamatan Cimahi). Pertama kali ketika mengajar di kelas rasanya seperti mimpi, apalagi saat anak-anak memanggilnya ibu. Benarkah dirinya kini telah menjadi seorang ibu (guru, red). Bahkan sebelumnya sama sekali tidak tahu dimana letak Desa Gunungsari dan bagaimana kondisi geografi dan masyarakatnya. Belum lagi seolah-seolah menjadi tontonan karena satu-satunya guru perempuan dan juga seorang pendatang. Kala itu seorang guru perempuan memakai pakaian tidak sebagaimana yang dikenakan sekarang. Guru putri berarti memakai kain, kebaya dan bersanggul.

Tingkat kesadaran masyarakat saat itu untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah. Umumnya anak-anak kecil menggembala kerbau sebelum mereka masuk sekolah, sehingga ketika sekolah sudah besar-besar. Adapun kondisi sekolahnya masih lantai tanah di kelilingi sawah dan sungai yang kadang kebanjiran dan becek. Maka tak aneh jika baik siswa maupun murid kalau belajar ceker ayam saja (tidak bersepatu, red).

Ibu guru yang ketika pertama kali menjadi guru adalah satu-satunya guru perempuan ini sangat mencintai pendidikan. Rasa cintanya itu diwujudkan dalam kesehariannya dengan penuh rasa tanggung jawab karena beliau sadar betul bahwa program sehebat apapun jika tanpa dilandasi keikhlasan dan rasa tanggung jawab maka tidak akan berhasil. Lalu jika demikian apa yang bias kita berikan kepada masyarakat. Mungkin akan terasa begitu muluk, sangat idealis dijaman yang materialis ini. Tetapi ada bukti nyata yang tidak mungkin dikesampingkan begitu saja.

Ibu dari empat orang anak ini dengan penuh kesabaran membimbing murid-muridnya. Jika ada yang belum bisa membaca maka sang murid didudukkan tidak sebagaimana lazimnya siswa akan tetapi membelakangi papan tulis di depan teman-temannya. Cara ini bukan suatu bentuk hukuman, justru cara inilah bimbingan yang sukses mengantarkan siswa-siswinya memperoleh pengetahuan. Anak-anak yang belum bisa membaca ini dibimbing satu-satu sampai benar-benar bisa baru boleh kembali duduk seperti teman-temannya. Huruf-huruf yang paling sulit dikenali oleh siswa pun dicarikan jalan keluarnya agar tak menjadikan masalah. Misalnya kemiripan huruf p dan b disiasati dengan menjelaskan bahwa p itu ada perutnya dan b itu ada pantatnya. Dengan cara demikian ternyata lebih mudah dipahami sebagaimana sesuai dengan tingkat pemahaman anak-anak.

Kepeduliannya terhadap anak-anak yang terlambat menguasai kemampuan membaca ini tidak pupus hanya karena jabatan. Ketika menjabat sebagai kepala sekolah beliau meminta kepada semua guru kelas untuk mengirimkan siswa-siswinya yang belum bisa membaca ke kantor kepala sekolah. Beliau sendiri yang membimbingnya. Baru kalau sudah lancar dikembalikan ke kelas masing-masing.

Untuk menjadi seorang guru yang penuh dengan dedikasi bukanlah pekerjaan yang instan. Bahkan menurut orangtuanya Tin Suhartini kecil memang telah bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Maka meskipun kemudian ditempatkan di daerah yang secara geografi sangat berat tidak membuatnya surut langkah apalagi sampai meninggalkan gelanggang. Pesan bapaknya untuk mampu menjadi srikandi dalam dunia pendidikan merupakan salah satu motivasi untuk tetap bertahan dan bahkan kemudian menorehkan prestasi.

Kondisi geografis Desa Gunungsari era tahun 1960-an akhir sangat jauh berbeda dengan sekarang, bahkan nyaris tak terbayangkan kalau kala itu jalan penghubung dengan desa yang lain adalah jalan setapak yang banyak diselubungi oleh ilalang yang tingginya melebihi orang dewasa. Disamping itu kondisi wilayahnya yang seringkali becek sangat memungkinkan pendatang tidak betah untuk menetap di desa tersebut. Tidak untuk ibu..., bahkan beliau menikah dengan lelaki setempat (Agustus 1968) yang juga teman sejawat di SD Gunungsari.

Jika ada acara di kota kecamatan (waktu itu masih desa Gunungsari masih termasuk wilayah kecamatan Luragung) baik untuk mengikuti perlombaan atau penataran guru, jam 03.00 sudah berangkat jalan kaki ditemani obor dari bambu. Pakaian yang akan digunakan dibungkus kertas kemudian di suhun (ditaruh di atas kepala, red). Sampai di Cileya kaki dibasuh dan ganti pakaian.

Jika akan mengikuti perlombaan di Luragung maka suami makan tidak enak, tidak bisa tidur karena jam 24.00 keliling kampung membangunkan anak-anak untuk siap-siap berangkat, agar jam 03.00 sudah benar-benar berangkat.

Perjuangan itu tidak ada yang sia-sia. Terbukti hampir setiap perlombaan tingkat kecamatan selalu diperhitungkan. Bidang olahraga dan kesenian sering langganan masuk tiga besar. Bahkan bulu tangkis dan tenis meja pernah sampai ke tingkat propinsi. Kunci utamanya adalah kebersamaan dan pemberian motivasi yang berkesinambungan.

Masa-masa paling berat yang dirasakan oleh istri dari Kuswadi ini adalah saat-saat pensiun. Selama tiga bulan ada perasaan berdosa telah meninggalkan tugas. Padahal telah jelas menerima SK Pensiun. Akan tetapi rasa tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak masih sangat membekas, sehingga ketika melihat anak-anak masuk sekolah sedangkan dirinya masih berada di rumah merasa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang sebenarnya sangat wajar bagi yang sudah pensiun untuk tinggal di rumah.

Tahun 2002 kondisi fisik gedung sekolah sangat mengkhawatirkan. Sebagai kepala sekolah Tin Surihatin melakukan konsultasi dengan Komite Sekolah, disepakati sebelum mendapatkan bantuan gedung ditopang dulu dengan menggunakan bambu. Dengan berbagai macam usaha yang dilakukan pada tahun 2003 mendapatkan dana hibah dari Belanda sebesar seratus juta rupiah. Proyek tersebut dibawah pengawasan langsung pihak pemilik dana dengan pengawasan yang sangat ketat. Pengawas tidak mau menerima uang sepeserpun, kalau memang ada penyimpangan dan perlu ada yang dibongkar maka harus dibongkar. Ibu kita yang satu ini dapat menyelesaikan proyek dengan baik sehingga mendapatkan acungan jempol dan dihadiahi sebuah kalkulator serta beberapa uang.

Kekurangan dua ruang yang tadinya oleh Kepala Dinas dikatakan jangan dulu mengajukan tetapi melihat sekolah lain mengusulkan terus kemudian pada tahun 2006 memperoleh imbal swadaya Rp 75 juta. Maka selesailah sekolah tersebut direnovasi. Pensiun tanpa meninggalkan beban kelas yang belum tuntas pembangunannya.

(materi profil di Majalah Husnul Khotimah Edisi September 2008)
Wawancara oleh Afriadi, Sunarno, dan Alfarobi. Edit menjadi naskah oleh Sunarno

Rabu, 10 September 2008

Kenangan di Kampus Biologi UNSOED

Saya memang telah lama meninggalkan kampus biru (bekas ladang kangkung?). sejak tahun 2005 Purwokerto tak lagi menjadi tempat mendulang rizki (di MA Al Ikhsan Kedungbanteng, SKB samping kampus pusat dan Misykah Komputer, pernah juga beberapa tulisan mampir ke Radar Banyumas, Reformasi, Annida). Tepatnya 1 Januari 2005 saya hijrah ke Kuningan dan lagi-lagi tak berkutik ketika dihadapkan pada kenyataan pesantren memerlukan media komunikasi entah bernama buletin, majalah atau apalah yang sejenis. Tahun 2005 di daulat menjadi pembina Buletin Akyas, hingga kemudian sebagian lebur menjadi majalah Husnul Khotimah. Benar-benar tak ada pilihan lain, saya turut membidani lahirnya majalah husnul khotimah. hingga saat ini tinggal 2 orang pendiri yang masih tetap setia dengan media ini. satu orang teman yang sekarang pemrednya adalah jebolan Sabili.

Sesekali saya mengulik-ulik internet. Kesasar ke mana-mana. Dan ternyata alhamdulillah ada manfaatnya juga bisa bertemu isroi, pamenang, Muhamat si Memet Pak Dosen, Edi S yang setia dengan tanah kelahirannya. juga teman-teman yang mungkin belum sempat ada kontak.

Kepada Isroi saya minta ijin ikut nimbrung masang kenang-kenangan bersama teman-teman di kampus dulu (Biologi Angkatan 93). Yang oleh Si Roy diberi tajuk TEmbang Kenangan