Minggu, 12 Oktober 2008

TAK ADA LAGI CINTA

Oleh: Sunarno

Lelaki itu berlari dan terus berlari. Mengejar bayang sendiri. Menapaki jejak-jejak kabut yang kian mengelam. Tersaruk jatuh bangun, menciumi bau anyir darah sendiri. Belantara kabut menyesak dada diterjang tanpa perhitungan. Luka memar telah menyatu bersama nyeri kepedihan hati. Ketika ditemui kampung tak lagi punya nyawa langkahnya terhenti. Tercekat oleh kabut tebal yang tak lagi mungkin ditembus. Sesobek kesadaran mengendap mencari ingatan tentang sepenggal berita pagi di kota Wonosobo sehari yang lalu.

Berita pagi sekilas mengutip semburan asap tebal setelah subuh jatuh. Satu bagian ceruk sebelah barat Pegunungan Dieng menggelepar. Jiwa melayang tak terhitung jumlahnya setelah tanpa sengaja menghisap asap tebal bertuba. Belum juga sempat menikmati segarnya oksigen pagi hari di ladang atau sekedar duduk di atas jengkok berdiang di depan anglo menghangatkan badan sambil meneguk segelas kopi panas diseling jagung rebus panenan sendiri. Bumi di atas pusar orang dewasa adalah lautan racun yang siap membius apa saja yang bernafas. Manusia atau ternak tak ada diskriminasi. Matahari tak sempat menampakkan diri.

Racun itu tiba-tiba lahir dari rahim bumi tepat di halaman Sekolah Dasar Inpres. Ceruk Dieng dengan ketinggian 1800 m dpl bumi rekah membentuk cekungan kawah. Tak ada lembaga pemerintah yang telah sempat memprediksikan. Tidak juga lembaga pemantau aktivitas gunung berapi. Mungkin Dieng dianggap telah mati. Gugusan kawah selama ini justru jadi sumber tontonan murah dan pendapatan daerah yang efektif. Asap belerang meliuk-liuk tanpa tuba justru menghangatkan penuh pesona. Mengundang banyak orang-orang bule untuk menghirupnya.

Lelaki itu meraung keras. Tak ada lagi yang bisa dibanggakan. Anak-anak, istri, ladang yang hampir panen tertelan semburan racun. Tak habis mengutuk diri mengapa harus pergi meninggalkan mereka. Mengapa musti turun ke kota, hanya membunuh waktu tidak penting benar. Kebutuhan pupuk untuk tanaman sayuran telah tak ada. Obat-obatan serangga belum saatnya dibeli. Hanya benar-benar sekedar membunuh waktu.

"Maafkan aku anakku. Maafkan aku istriku!"

Kabut menggeliat. Pagi merangkak lambat.

Lelaki itu kembali berlari. Berpacu meninggalkan kampungnya yang sepi. Meninggalkan jejak-jejak kenangan yang takkan mungkin terlupakan. Air matanya telah menyusut kering. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai berkibar menentang angin. Sisa-sisa asap pekat masih saling menelikung. Nafasnya tersangkut di tenggorokan. Tak mau ambil peduli terus saja berlari dan terus berlari. Lembah ngarai dijejaki. Jatuh bangun tak jadi rintangan yang cukup berarti. Belasan kilometer jarak terlampaui. Nafasnya kini benar-benar hampir putus. Dadanya menyesak menahan nyeri. Debu tebal membungkus badan, menyatu dengan keringat dingin menciptakan lapisan daki yang kian mengental.

Matahari tersamar menerobos kabut.

Di tanah datar tiba-tiba ia menjatuhkan diri, tepat di depan sebuah pemakaman tua. Bersimpuh, tidak bergerak, juga tidak menggumam. Ia hanya menatap lurus pada deretan nisan yang mengabut. Tak berkedip. Ingin menembus hingga ke kedalaman makam. Pelan-pelan pipinya menghangat. Ada buliran bening merayap. Sekonyong-konyong lelaki itu meraung keras. Mencakar-cakar tubuh sendiri. Teringat akan anak istrinya yang ditelan asap. Berkelebat bayangan bagaimana anak istrinya berjuang keras mempertahankan nafas hingga akhirnya kaku tak berdaya. Sesak penuh racun. Tak sempat menyelamatkan diri. Tangan menggapai-gapai dalam kehampaan kemudian lunglai tanpa daya.

"Maafkan aku anakku, istriku!"

Lelaki itu segera menguasai diri kembali. Ragu-ragu hendak masuk atau tetap saja di luar. Angin mempermainkan rambutnya. Berkibar kesana-kemari membawa pengap bau tubuh sendiri. Anyir darah mengalir dari tulang pipi. Diusapnya lambat-lambat. Telah mengental bercampur daki yang kian menebal. Deretan kabut menari-nari membelai setiap lekuk tubuh pegunungan. Menampar pepohonan, juga deretan batu nisan, membelai basah rerumputan. Menciptakan sebentuk nyeri di pipi lelaki itu. Rumah di seberang jalan tak ada tanda-tanda kehidupan. Di jalanan tak ada sesuatupun yang melintas. Lengang. Entah yang tersisa menyambung nafas ke mana. Tak ada jejak yang mampu menjelaskannya.

Sekali lagi lelaki itu meraung keras.

"Istriku! Anakku! Kalian dimana..??"

Tak ada jejak-jejak yang mungkin dilacak. Tak ada tanda-tanda yang bisa dibaca. Hanya gema suaranya sendiri yang menyelinap ke tulang pendengaran. Selebihnya kabut yang kian memekat.

Mata lelaki itu menyapu sekeliling. Seluruh batu nisan diamati lekat-lekat. Mondar-mandir tak berbilang. Tiap pahatan nama tak luput dari perhatian. Tak satupun ditemukan guratan nama yang teramat dikenalnya.

Isak tangis tak tertahankan. Berkelebat secepat kilat senyum manis anak semata wayang. Mengajaknya bermain berkejaran di belakang rumah. Atau merengek meminta dibelikan mainan yang bisa berbicara. Canda tawanya masih memenuhi ruang kepala lelaki itu.

Masih terngiang kata-kata istrinya saat dipelaminan. Katanya ingin mempunyai lima anak laki-laki semua. Mirip para kesatria pewaris Astina.

"Biar nanti membantu bapaknya mengurus ladang."

"Yang membantumu di dapur?"

"Tak usah dipikirkan!"

Nyatanya baru dikaruniai seorang anak kini harus terpisahkan.

****

Langit memuntahkan awan.

Lelaki itu menantang langit. Menunjuk lurus ke gumpalan awan. Tak dipedulikan rintik-rintik mulai membasahi wajahnya, membasahi kepalanya, seluruh tubuhnya.

“Tuhan, harus kemanakah kucari anak istriku!” di sela isaknya yang kembali pecah lelaki itu melirih gumam sembari terduduk lemah.

Ditimang kembali segala ingatannya. Terseok tersaruk jatuh bangun demi memuasi keinginan bertemu orang-orang tercinta. Hilang takut, ngeri, perih, pedih dan juga logika. Menerobos kabut, menerjang lebatnya ilalang serta duri-duri tak dipedulikan. Basah kuyup oleh guyuran kabut, keringat dan kemudian renai gerimis telah menciptakan gigil yang kadang juga igauan. Masih juga tak ambil peduli.

Sepercik ingatannya menghadirkan kesadaran yang justru kemudian terasa ada keanehan pada apa yang telah dilakukannya. Tujuan mencari anak istri justru ke arah yang semakin menjauhi kampung halaman. Menuju pemakaman entah yang sama sekali tak dikenalinya.

Kesadaran yang hanya sepercik itu membulatkan kembali tekad lelaki itu untuk melacak jejak-jejak kelamnya kabut. Mengayun langkah kembali meski perih telah menggerogoti tubuhnya.

Lelaki itu tak mau terlambat yang kedua kali. Berlari dan kembali berlari. Menerobos gerimis, membelah semak belukar tak lagi ambil peduli. Entah jalan yang telah dilalui atau belum tak lagi dipertimbangkan. Hanya kali ini sedikit lebih hati-hati jangan sampai salah lagi memilih jalan.

Rintik-rintik itu kian deras. Kian keras. Tak dipedulikan gigil membuatnya limbung. Angin mendesir menambah hujan kian nakal, menampar-nampar bebatuan dan juga rerumputan. Hujan kian deras, angin menampar kian keras.

Lelaki itu tak lagi mampu mengenali sekeliling. Tamparan angin tersekat tak sampai masuk ke telinganya. Jatuhnya awan yang menggedor-gedor tiap jengkal dinding-dinding bangunan bahkan tubuhnya sendiri itu tak lagi terekam oleh ujung-ujung syarafnya. Arus besar menghanyutkan setiap jengkal kesadaran lelaki itu.

Purwokerto – Kuningan, 2001/2008 (di muat di Majalah Husnul Khotimah Edisi 14)

Sabtu, 13 September 2008

PUISI-PUISI di MAJALAH HK

DIENG AGUSTUS

Perapian menyengat tinggal arang

Asap mengukir kepalsuan angan

Meliuk-liuk

Bau kemenyan menyedak

Aduh pengap

Angin mendesak minta tempat

Secangkir kopi tak lagi hangat

Sebongkah jagung mampir ke

Obrolan tak tentu asal bicara

Atap langit tinggal sejengkal

Berkelebat membalik senja

Engkaukah itu?

Yang bikin gigil cemara kaku

Tak ada gerimis kadang bersalju

2000

KEMARAU

Debu berputar menyambar dedaunan

Rongsokan berserakan beterbangan

Memainkan lagu ombak

Harmoni semesta sajak

Melodi pertarungan

Sejak matahari lagi ternakar

Awan tak sanggup mengumpul

Mata air pindah ke manusia

Tak lagi punya air mata

3/98

KABUT ITU TURUN

(Dieng suatu hari)

Embun memeluk erat batu beku

Nafas menekan dada hingga sesak

Selimut tebal menggulung sepi

Tak jua beranjak

Tanpa perapian penghangatan

Pagi-pagi matahari tergadaikan

Bumi kaku menenggak malam

Langit kian tak ada jarak

Gunung merunduk terbalut kaku

Cemara hanya mampu berjajar gigil

Rumah-rumah memutih ditelan kabut

Kampong mati senyap

Embun memeluk erat batu beku

Daun-daun resah dalam igau

Melayang-layang tanpa tempat berpijak

Aku sujud dalam sunyi

2000

AKHIR RAMADHAN

Bulan ini penuh harap

Sejengkal telah pergi

Mengais-ngais sisa

Masih kutemui

Masih kudapati

Sedang nyawaku tak kumaknai

Sujudku belum tunduk

Rukukku belum khusyu’

Rumahku belum kokoh

Tiang-tiangnya masih rapuh

Digerogoti rayap kemunafikan

jalanMu sering kulalui

ya Ghafur ampunkan hamba

awal 2000

CERPEN

PAGEBLUK

Oleh: Sunarno

Aku tercenung di depan batu nisan. Belum lama berselang para pengantar jenazah kembali pulang. Sebuah kematian yang teramat kuat lekat dalam ingatan. Ayahku adalah orang keempat. Tidak sampai bilangan mingguan. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Nyaris aku menggugat Tuhan. Berkelebat secuil curiga teringat cerita ilmu sesat. Materi di luar pelajaran mengaji masa kanak-kanak.

"Ayo Di, kita pulang!" Ahmad ternyata masih ada disampingku. Menggamit pundakku lembut. Aku manut saja. Tanah merah segera kami tinggalkan.

"Aku bisa memahami perasaanmu Di! Meskipun demikian kita harus yakin bahwa ini merupakan kersaning Gusti Allah. Bahwa takdir Allah tak mungkin kita tolak". Rupanya Ahmad menangkap kelebat curiga.

"Tapi darah itu Mad?"

"Masih ingat kan Di, kata Ustadz Amir saat kita sama-sama mengeja juz amma?"

Ahmad menyeretku ke masa lalu. Saat-saat indah di surau di seling cambukan rotan Ustadz Umar. Tidak pernah memukul benar kecuali demi keseriusan kami mengaji. Tapi peristiwa di liang lahat itu mneyita sebagian besar pusat kesadaranku.

"Kenapa musti ayahku? Kenapa… ah, tidak! Astaghfirullah!" kutahan kuat-kuat untuk tidak menyebut laku menyimpang. Meski hati kecil tatap meragu. Teringat kata Dokter Mono tiga orang sebelumnya mengidap muntaber. Muntah-muntah dan menggigil kedinginan. Ada yang nyaris gila. Lantas ayahku? Tak selazimnya mayat-mayat. Saat dimiringkan ada kucuran darah dari mulut.

"Kita tunggu berita dari Dokter Mono. Kita sebagai manusia sudah berikhtiar. Ternyata Allah menghendaki lain. Aku yakin itu penyakit yang wajar. Sudahlah Di! Yuk, kita jamaah Dhuhur!"

* * * *

Dokter Mono dating ke Dukuh Kopen tak sendirian. Alat-alat pengasapan sebagai buah tangan. Warga kopen diberi pengertian. Deretan kematian harus segera dihentikan. Syaratnya masyarakat harus memberi dukungan. Bukan sekdar mengiyakan. Tapi nyata-nyata sarang nyamuk harus ditiadakan. Tak ada kata terlambat, tidak mengenal batas kadaluwarsa. Zat malation diyakini bisa mencegah korban berjatuhan. Jentik-jentik nyamuk tak lagi bisa berkembang. Nyawa manusia terselamatkan. Endemic demam berdarah bisa dimusnahkan. Asal tak satu sudutpun terlewatkan. Harus serentak. Aku masih dengan sepenggal keraguan. Benarkah itu penyebab kematian ayah? Darah di liang lahat itu sangat sulit untuk kulupakan. Bukan maksudku meremehkan kepiawaian Dokter Mono. Tidak sama sekali. Ini di luar jangkauan ilmu kedokteran. Entah menurut Ustadz Amir.

Dokter Mono tak bosann-bosannya memberi pengertian. Kematian memang urusan Tuhan, tapi kita layak mengupayakan kesehatan. Usaha dulu, tawakal kemudian. Dokter juga para mantri puskesmas tak pernah lepas menyambangi kampung. Kebersihan lingkungan selalu digalakkan. Rumah gedhek atau gedongan tak ada pembedaan. Program ini meski berkelanjutan. Ustadz Amir mempertegas dalam khutbah jum'atan.

Warga Kopen tak ada tuntutan. Wajar tak banyak mengenal ilmu kesehatan. Memerah susu tetap jadi menu harian. Kematian empat warga bukanlah pertanda suram. Percaya akan usaha Dokter Mono dan kawan-kawan. Anak-anak kembali riang bermain di pelataran. Entah jelungan, mungkin pula jamuran, sambil menikmati purnama. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tapi aku tetap merasa kehilangan. Alhamdulillah tak lagi memendam bayangan permainan supranatural. Itu sekedar dongeng anak-anak, yang kini tak lagi layak. Tinggal potongan-potongan kenangan.

Tiba-tiba Kampung Kopen menjerit.

Kentongan tanda lelayu bertalu-talu. Tak ada berita sebelumnya orang sakit parah. Orang-orang penuh Tanya. Bergegas menjumpai kenyataan mendiang baru saja muntah-muntah dan mengeluh kedinginan. Konon beraknya campur darah. Tidak sampai berganti bulan belasan nyawa hilang. Dokter Mono geram malation ternyata tak juga mempan. Puskesmas kalang kabut tak mengerti makna kejadian. Jentik-jentik nyamuk sudah dipastikan tanpa menyisakan generasi. Saying kematian yang teramat membingungkan tak lagi terhindarkan. Merobek ketenangan Kopen. Bupati dan Dinkes gerah merasa kecolongan. Berita meluas secepat angin menjalar. Kopen menjadi berita besar. Saying berita suram.

Semuanya geram. Entah apa yang musti dilakukan. Dokter saja keheranan. Kopen jadi muram. Entah apa yang menyebabkan kejadian itu dating. Banyak desas-desus berseliweran. Kebetulan memang habis ada pertunjukan wayang. Praktis jadi salah satu sasaran kemarahan. Aku nelangsa emikirkan itu. Pastilah beban yang ditinggal jauh lebih berat dari apa yang pernah aku rasakan. Bukan tak sanggup melangsungkan upacara kematian. Tapi hati serasa disayat-sayat oleh ketidakpastian. Kejadian berlalu tanpa kejelasan. Ditindih tuduhan-tuduhan tanpa kenyataan.

"Ini gara-gara Pak Wondo. Kita kena pagebluk." Mbah Ranu marah-marah ketika malam-malam kami sedang jaga di gardu ronda.

"Pak Wondo? Apa yang telah dilakukannya terhadap kita? Sepertinya tak ada apapun." Lik Tugi tak mengerti arah pembicaraan Mbah Ranu sambil mengunyah kacang goreng.

"Coba perhatikan sebelum kematian si KArto itu, Pak Wondo kan baru saja nanggap wayang sewengi nutug. Anak-anak kita pada kepincut, tidak beringsut hingga ayam jago ramai bersahutan menyambut pagi menjelang…"

"Lantas hubungannya apa Mbah, wayang yang ditanggap pak Wondo dengan kematian bapakku?" potongku cepat. Aku tidak sreg dengan omongan mbah Ranu. Ayahku yang dipergunjingkan. Aku pernah menaruh syak pada seseorang. Tapi kini aku lebih meyakini scenario sang maha dhalang. Bukan dhalang yang diatnggap Pak Wondo itu. Dialah sang maha penentu segalanya.

"Oalah to Le! Kamu tto anaknya Ki Karto itu! Syukurlah kamu ada di sini, jadi kamupun harus tahu…" Mbah Ranu tiba-tiba diam. Seakan sengaja meneror perasaanku. Darahku memenuhi ubun-ubun.

"Sudahlah Mbah apa maksudnya, jangan membuat orang bingung begitu.: pinta Kang Bejo kemudian.

"Tak adakah kalian satu orangpun yang curiga?"

"Akh aku semakin tidak mengerti Mbah. Memangnya apa yang telah dilakukan oleh Pak Wondo. Ia menyembelih kambing dibubuhi racun begitu? Toh, masih banyak di antara kita yang tetap segar bugar. Tanda-tanda keracunan pun tidak ada." Lik Tugi menanggapi dengan guyon.

"Ya, benar kita telah diracuninya!"

Aku tersentak. Tidak mungkin. Itu mustahil. Saying kata-kata itu hanya berhenti di kerongkongan. Ustadz Amir yang sedari tadi diam nampak gelisah. Tak ada satupun di antara kami yang mempunyai bukti. Lik Tugi terbengong-bengong. Kang Bejo tak jadi menyantap kacang goreng.

"Kita sedang kena pagebluk karena Pak Wondo itu syaratnya kurang kalau tidak mau dikatakan menolak. Itulah ujud racun itu." Mbah Ranu kembali merobek ketidakpastian.

"Syarat? Syarat nopo to Mbah?"

"Oalah Le, kamu memang masih terlalu muda untuk mengerti, tapi bapakmu itu korban pertamanya. Kamu tentu tidak akan pernah lupa dari mulut…"

"Cukup Mbah! Jangan ungkit-ungkit itu lagi!" seketika aku berdiri tegak. Memotong kata-kata Mbah Ranu. Entah kekuatan dari mana hingga tata krama terhadap Mbah Ranu kuterjang. Aku seolah sedang membela diri atas vonis yang tak semestinya terhadap ayahku. Meram padam mukaku. Tak tahan saat-saat menegangkan di liang lahat itu diungkit-ungkit orang. Ustadz Umar memegang tanganku lembut memberikan ketenangan.

"Tapi ini kenyataan Le. Bapakmu jadi tumbal pertama atas laku lancing Pak Wondo dalam membuat sesaji. Mungkin ia sengaja menolak permintaan ki dalang. Rasa-rasanya kok mustahil kalau ki dalang sendiri yang berbuat senekat itu. Kalaupun lupa, bagaimana mungkin seorang dalang lupa pada pantangannya sendiri. Sejak dulu Pak Wondo kan orangnya begitu. Anti sesaji-sesajian."

"Tidak! Itu tidak benar! Kematian bapakku tidak ada sangkut pautnya dengan…"

"Le, kamu belum banyak tahu merah hitamnya hidup ini. Siapa saja bisa berbuat licik untuk keuntungan dirinya, keluarganya atau juga kelompoknya. Tak peduli nyawa orang lain jadi taruhannya. Manis di mulut belum tentu sesuai dengan kenyataan."

Omongan Mbah Ranu termakan juga oleh banyak orang. Seperti angin tak terbendung. Segera menyebar hingga ke setiap telinga penghuni kampung. Pembelaanku nyaris tak bermakna. Ustadz Amir belum juga mau ambil bagian. Dokter Mono pun tak sanggup membendung arus yang tak pasti.

Aku terkesiap. Astaghfirullah. Sejauh itukah? Ini sudah kelewatan. Tuhan dipersamakan dengan makhluk-makhluk yang takjelas juntrungannya begitu. Tuhan tidak membutuhkan sesajian. Ini tidak bisa dibiarkan. Kusampaikan keresahanku pada Ustadz Umar.

"Ada benarnya juga kata-kata Mbah Ranu!" komentar Ustadz Amir membuatku limbung. Nyaris tak percaya. Ustadz Amir orang yang paling aku percaya ternyata…

"Tapi Tadz?" aku jelas-jelas protes, tak habis mengerti mengapa Ustadz Amir kini telah berubah.

"Nanti duluu aku belum selesai."

"Apa maksudnya?"

"Tunggu besok jum'at!"

Aku tak puas. Ustadz Amir tetap tak mau melanjutkan. Desas-desus tetap terbawa angin. Entah apa yang terjadi pada Pak Wondo. Betapa pedihnya dianggap sebagi sumber petaka.

"Benar adanya kita sedang kena pagebluk. Bukan karena laku seseorang di antara kita. Kita semua telah sombong pada Tuhan. Merasa telah kaya dengan susu-susu yang kita perah tiap pagi. Padahal siapa yang mengalirkan susu itu? Pernahkah kita menunaikan sesuai dengan haknya? Ada sebagian yang harus kita sisihkan buat hati kita. Nyatanya tidak demikian. Tuhan murka kepada kita berupa pagebluk. Tuhan dalam mneimpakan pagebluk tidak hanya memilih orang per orang tapi semua warga. Entah dia itu kyai atau pencuri. Semua memiliki tanggung jawab yang sama. Pagebluk ini akan segera berlalu kalau kita bersedia kembali kepada Tuhan…" di khotbah jumat yang dijanjikan Ustadz Amir mencoba mengajak kembali pemahaman masyarakat tentang musibah.

Nah, lho jadi…

Purwokerto, Maret – April, 2002

(Dimuat dimajalah Husnul Khotimah Edisi September 2008)

Membaca Itu...!

Bagi alumni SD Negeri Gunungsari Kecamatan Cimahi kata-kata: Membaca itu…! Memiliki makna tersendiri yang senantiasa terkenang dan dapat dilanjutkan dengan penggalan kalimat yang berbeda. Penggalan kalimat itu merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seorang srikandi pendidikan di Desa Gunungsari. Penggalan kalimat yang bukan sekedar mengeluarkan kata-kata akan tetapi penggalan kalimat dengan tujuan menggugah dan memotivasi siswa didiknya untuk senantiasa maju, terutama bagi yang memang perkembangan kemampuan membacanya terlambat bila dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.

Menurut ibu yang telah 40 tahun mengabdi sebagai PNS di Sekolah Dasar ini, membaca itu indah. Filosofinya dengan membaca kita bisa mengenal dunia luar tanpa harus pergi. Semuanya terlihat jelas. Kalau tidak bisa membaca bagaimana bisa mengetahui dunia luar pergi tidak membaca juga tidak. Dengan membaca itulah gudang ilmu bisa dibuka.

Alumni SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Kuningan ini mengemban amanah sebagai guru PNS sejak tahun 1967. pertama kali di tempatkan di SDN Cikandang Kecamatan Luragung. Setahun kemudian dipindahkan ke SDN Gunungsari (waktu itu masih termasuk wilayah Kecamatan Luragung, sekarang telah berdiri sendiri menjadi Kecamatan Cimahi). Pertama kali ketika mengajar di kelas rasanya seperti mimpi, apalagi saat anak-anak memanggilnya ibu. Benarkah dirinya kini telah menjadi seorang ibu (guru, red). Bahkan sebelumnya sama sekali tidak tahu dimana letak Desa Gunungsari dan bagaimana kondisi geografi dan masyarakatnya. Belum lagi seolah-seolah menjadi tontonan karena satu-satunya guru perempuan dan juga seorang pendatang. Kala itu seorang guru perempuan memakai pakaian tidak sebagaimana yang dikenakan sekarang. Guru putri berarti memakai kain, kebaya dan bersanggul.

Tingkat kesadaran masyarakat saat itu untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah. Umumnya anak-anak kecil menggembala kerbau sebelum mereka masuk sekolah, sehingga ketika sekolah sudah besar-besar. Adapun kondisi sekolahnya masih lantai tanah di kelilingi sawah dan sungai yang kadang kebanjiran dan becek. Maka tak aneh jika baik siswa maupun murid kalau belajar ceker ayam saja (tidak bersepatu, red).

Ibu guru yang ketika pertama kali menjadi guru adalah satu-satunya guru perempuan ini sangat mencintai pendidikan. Rasa cintanya itu diwujudkan dalam kesehariannya dengan penuh rasa tanggung jawab karena beliau sadar betul bahwa program sehebat apapun jika tanpa dilandasi keikhlasan dan rasa tanggung jawab maka tidak akan berhasil. Lalu jika demikian apa yang bias kita berikan kepada masyarakat. Mungkin akan terasa begitu muluk, sangat idealis dijaman yang materialis ini. Tetapi ada bukti nyata yang tidak mungkin dikesampingkan begitu saja.

Ibu dari empat orang anak ini dengan penuh kesabaran membimbing murid-muridnya. Jika ada yang belum bisa membaca maka sang murid didudukkan tidak sebagaimana lazimnya siswa akan tetapi membelakangi papan tulis di depan teman-temannya. Cara ini bukan suatu bentuk hukuman, justru cara inilah bimbingan yang sukses mengantarkan siswa-siswinya memperoleh pengetahuan. Anak-anak yang belum bisa membaca ini dibimbing satu-satu sampai benar-benar bisa baru boleh kembali duduk seperti teman-temannya. Huruf-huruf yang paling sulit dikenali oleh siswa pun dicarikan jalan keluarnya agar tak menjadikan masalah. Misalnya kemiripan huruf p dan b disiasati dengan menjelaskan bahwa p itu ada perutnya dan b itu ada pantatnya. Dengan cara demikian ternyata lebih mudah dipahami sebagaimana sesuai dengan tingkat pemahaman anak-anak.

Kepeduliannya terhadap anak-anak yang terlambat menguasai kemampuan membaca ini tidak pupus hanya karena jabatan. Ketika menjabat sebagai kepala sekolah beliau meminta kepada semua guru kelas untuk mengirimkan siswa-siswinya yang belum bisa membaca ke kantor kepala sekolah. Beliau sendiri yang membimbingnya. Baru kalau sudah lancar dikembalikan ke kelas masing-masing.

Untuk menjadi seorang guru yang penuh dengan dedikasi bukanlah pekerjaan yang instan. Bahkan menurut orangtuanya Tin Suhartini kecil memang telah bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Maka meskipun kemudian ditempatkan di daerah yang secara geografi sangat berat tidak membuatnya surut langkah apalagi sampai meninggalkan gelanggang. Pesan bapaknya untuk mampu menjadi srikandi dalam dunia pendidikan merupakan salah satu motivasi untuk tetap bertahan dan bahkan kemudian menorehkan prestasi.

Kondisi geografis Desa Gunungsari era tahun 1960-an akhir sangat jauh berbeda dengan sekarang, bahkan nyaris tak terbayangkan kalau kala itu jalan penghubung dengan desa yang lain adalah jalan setapak yang banyak diselubungi oleh ilalang yang tingginya melebihi orang dewasa. Disamping itu kondisi wilayahnya yang seringkali becek sangat memungkinkan pendatang tidak betah untuk menetap di desa tersebut. Tidak untuk ibu..., bahkan beliau menikah dengan lelaki setempat (Agustus 1968) yang juga teman sejawat di SD Gunungsari.

Jika ada acara di kota kecamatan (waktu itu masih desa Gunungsari masih termasuk wilayah kecamatan Luragung) baik untuk mengikuti perlombaan atau penataran guru, jam 03.00 sudah berangkat jalan kaki ditemani obor dari bambu. Pakaian yang akan digunakan dibungkus kertas kemudian di suhun (ditaruh di atas kepala, red). Sampai di Cileya kaki dibasuh dan ganti pakaian.

Jika akan mengikuti perlombaan di Luragung maka suami makan tidak enak, tidak bisa tidur karena jam 24.00 keliling kampung membangunkan anak-anak untuk siap-siap berangkat, agar jam 03.00 sudah benar-benar berangkat.

Perjuangan itu tidak ada yang sia-sia. Terbukti hampir setiap perlombaan tingkat kecamatan selalu diperhitungkan. Bidang olahraga dan kesenian sering langganan masuk tiga besar. Bahkan bulu tangkis dan tenis meja pernah sampai ke tingkat propinsi. Kunci utamanya adalah kebersamaan dan pemberian motivasi yang berkesinambungan.

Masa-masa paling berat yang dirasakan oleh istri dari Kuswadi ini adalah saat-saat pensiun. Selama tiga bulan ada perasaan berdosa telah meninggalkan tugas. Padahal telah jelas menerima SK Pensiun. Akan tetapi rasa tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak masih sangat membekas, sehingga ketika melihat anak-anak masuk sekolah sedangkan dirinya masih berada di rumah merasa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang sebenarnya sangat wajar bagi yang sudah pensiun untuk tinggal di rumah.

Tahun 2002 kondisi fisik gedung sekolah sangat mengkhawatirkan. Sebagai kepala sekolah Tin Surihatin melakukan konsultasi dengan Komite Sekolah, disepakati sebelum mendapatkan bantuan gedung ditopang dulu dengan menggunakan bambu. Dengan berbagai macam usaha yang dilakukan pada tahun 2003 mendapatkan dana hibah dari Belanda sebesar seratus juta rupiah. Proyek tersebut dibawah pengawasan langsung pihak pemilik dana dengan pengawasan yang sangat ketat. Pengawas tidak mau menerima uang sepeserpun, kalau memang ada penyimpangan dan perlu ada yang dibongkar maka harus dibongkar. Ibu kita yang satu ini dapat menyelesaikan proyek dengan baik sehingga mendapatkan acungan jempol dan dihadiahi sebuah kalkulator serta beberapa uang.

Kekurangan dua ruang yang tadinya oleh Kepala Dinas dikatakan jangan dulu mengajukan tetapi melihat sekolah lain mengusulkan terus kemudian pada tahun 2006 memperoleh imbal swadaya Rp 75 juta. Maka selesailah sekolah tersebut direnovasi. Pensiun tanpa meninggalkan beban kelas yang belum tuntas pembangunannya.

(materi profil di Majalah Husnul Khotimah Edisi September 2008)
Wawancara oleh Afriadi, Sunarno, dan Alfarobi. Edit menjadi naskah oleh Sunarno

Rabu, 10 September 2008

Kenangan di Kampus Biologi UNSOED

Saya memang telah lama meninggalkan kampus biru (bekas ladang kangkung?). sejak tahun 2005 Purwokerto tak lagi menjadi tempat mendulang rizki (di MA Al Ikhsan Kedungbanteng, SKB samping kampus pusat dan Misykah Komputer, pernah juga beberapa tulisan mampir ke Radar Banyumas, Reformasi, Annida). Tepatnya 1 Januari 2005 saya hijrah ke Kuningan dan lagi-lagi tak berkutik ketika dihadapkan pada kenyataan pesantren memerlukan media komunikasi entah bernama buletin, majalah atau apalah yang sejenis. Tahun 2005 di daulat menjadi pembina Buletin Akyas, hingga kemudian sebagian lebur menjadi majalah Husnul Khotimah. Benar-benar tak ada pilihan lain, saya turut membidani lahirnya majalah husnul khotimah. hingga saat ini tinggal 2 orang pendiri yang masih tetap setia dengan media ini. satu orang teman yang sekarang pemrednya adalah jebolan Sabili.

Sesekali saya mengulik-ulik internet. Kesasar ke mana-mana. Dan ternyata alhamdulillah ada manfaatnya juga bisa bertemu isroi, pamenang, Muhamat si Memet Pak Dosen, Edi S yang setia dengan tanah kelahirannya. juga teman-teman yang mungkin belum sempat ada kontak.

Kepada Isroi saya minta ijin ikut nimbrung masang kenang-kenangan bersama teman-teman di kampus dulu (Biologi Angkatan 93). Yang oleh Si Roy diberi tajuk TEmbang Kenangan

Jumat, 05 September 2008

Buku Forum Limabelas Penulis

Fiksi Limabelas Penulis

Forum Lingkar Pena

Siapa tak mengenal Nabi Yusuf? Lelaki tertampan di seluruh jagad? Lelaki yang pesonanya melegenda hingga ujung zaman? Jika semua orang kemudian mengatakan, “Kau mirip Nabi Yusuf,” maka sebentang taman bunga akan menghiasi ruang hati kita. Jika para wanita pun ternganga menatap kita, dan desahnya pun terlontar, “Kau memang mirip Nabi Yusuf,” maka dari ujung-ujung tangan kita, akan tumbuh sayap yang membuat kita mampou terbang menyusuri awan-awan…

“Kata orang Aku Mirip Nabi Yusuf” adalah satu dari 15 cerpen tulisan Fiksi Limabelas Penulis, yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena jateng. Sebuah antologi yang sarat nutrisi jiwa. Idealisme, harapan, ketakutan… serta cinta, tergambar dari lincahnya para penulis menggoreskan penanya.

Kedalaman perenungan Izzatul Jannah, dipadukan dengan ketajaman mata hati Titaq Mutaqwiati dan Afifah Afra, diramu keindahan bahasa Sakti Wibowo serta MN Furfon. Semakin menjadi rancak ketika satir parody NasSirun PurwOkartun, Kresna Pati dan Deasylawati digabungkan. Maka, dengan manisnya gula-gula Jazhimah Al Muhyi, Prana Perdana, Rianna Wati, A Adenata, Sunarno, Aveus Har serta Nashita Zayn, antologi ini sungguh bukan antologi biasa.

Forum Lingkar Pena. Konon, karya-karya mereka seragam, konon mereka hanya menawarkan nuansa hitam dan putih sehingga membosankan, konon, konon, begitualh anggapan-anggapan senada yang senantiasa diulang-ulang sehingga nyaris membentuk sebuah kesimpulan. Nah, Forum Lingkar Pena Jawa Tengah kali ini memberikan jawaban dalam bentuk yang paling konkrit, yakni dengan sekumpulan karya yang tidak ditaburi dakwah verbal yang konon menjadi cirri khasnya… (Joni Ariadinata, redaktur majalah sastra Horison).

artikel terkait silahkan klik disini

Cerpenku

RUMPUN PADI

Sastro memandangi perbukitan dengan perasaan cemas. Hujan sejak sore tadi serasa tak mau bersahabat. Padahal tengah malam telah lewat. Hujan begitu lebat, kadang ditingkahi suara gelegar petir menyambar-nyambar membelah angkasa memekakkan telinga dengan loncatan bunga api listrik yang menyilaukan mata.

Di lereng bukit sana Sastro menggantungkan hidup. Sepetak sawah penuh tangkai padi yang tadinya menghijau subur telah mulai menampakkan hasilnya entah kini apa jadinya. Angin keras menampar jendela berderak. Pepohonan di luar menggigil tak lagi tegak, bahkan ada beberapa yang tumbang. Air hujan menyusup lewat sela-sela dinding bambu yang memang sudah banyak bolongnya di sana sini, genting yang tak lagi mampu menampung luapan air hujan yang juga sudah tak ada lagi bentuknya. Malam berselimutkan gigil.

Sementara itu ketiga anaknya merapat di dipan pucat kecemasan, ketakutan mendengar gelegar petir yang tak seperti biasanya. Alam benar-benar sedang tak bersahabat. Istrinya menemani dalam ketermanguan.

"Anak-anak, sekarang istirahatlah, usahakan bisa tidur nyenyak, besok pagi-pagi sekali kita harus bergegas." Sastro berkata kepada ketiga anaknya lebih nampak sebagai gumaman.

Tak ada satupun anak-anak itu yang menjawab kecuali kian merapatkan selimut usang masih dalam kecemasan. Apa yang bisa diberikan pada anak istrinya bila ternyata esok paginya tak lagi ditemui rumpun padi yang menghijau itu. Padahal jika tak ada musibah maka bulan depan padi itu telah menguning.

Tak biasanya musim begitu ganas. Ia berharap dalam hati semoga padinya masih terselamatkan. Meski tidak semunay. Tapi barang sedikit cukup lumayan untuk diberikan pada anak istrinya. Karena dari situlah satu-satunya sumber penghasilan. Ia berusaha melongok jauh kea rah perbukitan dengan harapan dapat melihat petak sawahnya. Sia-sia saja. Hujan lebat serta angin malam menghalangi pandangan. Malam begitu pekat. Batinnya tetap saja lekat pada sepetak sawah.

Sat-satunya yang bisa ia lakukan hanyalh memohon kepada Tuhan untuk melimpahkan kasih saying-Nya. Hujan segera reda. Padi tidak hancur oleh ganasnya alam.

* * *

Sastro bergegas menapaki pematang yang sebenarnya tidaklah begitu lebar. Tapi seolah berjalan di jalan raya. Sastro mempercepat langkah dengan nafas yang kian memburu. Diikuti dengan berlari-lari kecil, kadang melompat menghindari kubangan air, oleh kedua anak lelakinya yang belumlah begitu dewasa. Mentari timur belum nampak benar. Belum jelas beda antara benang merah dengan benang hitam. Sastro berkelebat bagai bayangan. Hatinya telah lekat pad arumpun padi miliknya. Ingin segera sampai ke petak sawah.

"Sogol, cepat Bantu bapak, kalau air ini tidak dibuang hancur padi kita"

Yang dipanggil Sogol tanpa menjawab segera turut serta membuat saluran dengan memotong pematang. Air segera mengalir cukup deras. Tadinya air rata dengan pematang, sepertiga tanaman padi terendam dalam genangan hujan. Adiknya turut serta membantu.

Air segera mengalir dengan kecepatan tinggi. Berangsur-angsur genangan surut, diikuti berkurangnya kecepatan aliran air. Sastro dibantu kedua anaknya berusaha memperlancar aliran air supaya genangan segera habis. Tanpa mempedulikan waktu yang kian beranjak ketiganya bekerja keras dengan harapan padi miliknya dapat terselamatkan. Bahkan mereka tidak menyadari sedikitpun bila hari itu matahari tak juga hadir. Tertutup awan tebal. Keringat mereka tetap saja bercucuran.

"Pak, di atas bukit itu..!" Sogol berteriak tak kesampaian. Dilihatnya puncak bukit bukan lagi hanya berawan tebal. Hujan mulai menderas. Pepohonan nampak penuh gigil. Dari kejauhan nampak adanya lontaran-lontaran yang tak begitu jelas seperti menuju perkampungan di mana salah satu rumah yang ada adalah milik mereka.

"Sudah, jangan berkeinginan untuk bermain di atas bukit. Sekarang Bantu bapak memberesi tanggul ini."

"Pak..!"

"Jangan banyak omong. Jika tak segera kita selesaikan hancur padi kita tergenang semua. Selama tiga bulan kita tidak makan apa-apa."

Tiba-tiba petir menyambar-nyambar penuh gelegar. Hujan segera mengguyur tubuh-tubuh itu tanpa peringatan. Air sungai sekitar limaratusan meter dari sawah mereka segera meluap.

"Pak, aku harus pulang menyelamatkan mak, sepertinya…" Sogol tanpa menyelesaikan kata-katanya segera melesat meninggalkan adik dan bapaknya. Sastro tercekat segera menyadari keadaan. Sogol kian mempercepat langkah. Tak lagi mempedulikan bapak dan adiknya. Sementara itu Sastro segera menyusul demi diingatnya sungai yang harus dilewati cukup deras arusnya. Sayang Satro terlambat. Sogol telah mencebur ke sungai begitu bapaknya tiba di bibir sungai.

"Sogol! Jangan teruskan! Kembali.."

Sia-sia Sastro memanggil-manggil. Sogol nekad menyeberang. Sekonyong-konyong dari hulu bah membesar kian pekat. Meluap hingga sungai tak mampu lagi menampungnya. Sawah-sawah kembali tergenangi tidak hanya oleh air tapi Lumpur pekat kecoklatan dan kerikil-kerikil banyak yang tersangkut. Praktis rumpun padi yang tersisa tak berbentuk lagi.

Sogol tersentak sedang berada di tengah-tengah. Kembali tak mungkin. Melanjutkan lebih susah. Tiba-tiba sebatang kayu menyodok tubuh Sogol hingga terjatuh. Sogol berusaha menggapai-gapai. Sastro tak mampu berbuat apa-apa. Terlalu banyak sudah air bah masuk mulut Sogol. Dan hilang.

"Sogol..! Sogol..di mana kau nak?"

Berulang-ulang Sastro berteriak memanggil-manggil. Ditunggunya terus hingga hujan mereda. Dipanggilnya terus hingga suara serak hilang ditelan suara arus air yang tak jauh lebih keras. Ditunggunya sampai hari beranjak malam ditemani anaknya yang kecil hingga bertemu pagi kembali. Hingga sungai benar-benar surut Sastro baru mneyadari bahwa ia telah kehilangan anaknya untuk selama-lamanya. Dengan langkah gontai anaknya yang tersisa digendong pulang. Sesampai di perkampungan Sastro hanya tinggal menemui puing-puing rumah yang telah hancur ditelan bah. Sisa-sisa air masih banyak menggenang.

Kini Sastro tidak sekedar kehilangan rumpun padi yang seharusnya meranum. Hari depannya telah hancur. Anak lelaki tertuanya hilang ditelan sungai yang mengganas. Tidak hanya itu istri dan anak bungsunya yang belum genap empat tahun tak jelas kemana. Kini hanya tinggal seorang anak. Tanpa rumah. Tanpa rumpun padi. Tanpa seorang istri.

Purwokerto, 27 Januari 2000

(Pernah dimuat di Radar Banyumas)

Sabtu, 30 Agustus 2008

Ahmad Tohari Sang Novelis

Ahmad Tohari

Sore berbalut hujan, ketika saya mengikuti acara Musyawarah Wilayah Farum Lingkar Pena Jawa Tengah. Kami peserta Muswil hanya berkesempatan selama satu jam untuk berdiskusi dengan penulis novel Orang-orang Proyek ini.

Adapun sebagian dari diskusi tersebut kami susun dalam bentuk wawancara (tentunya dengan seijin Ahmad Tohari) sebagai berikut:

Bagaimana pengamatan Bapak tentang Forum Lingkar Pena (FLP), sebagai generasi pelapis, kami ingin meneruskan generasi Bapak!

Saya merasa ikut mendorong lahirnya FLP sejak jamannya Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Asma Nadia, ikut memperhatikan mendorong, memberikan ruang. Saya adalah orang yang selalu percaya bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang tetap, senantiasa tumbuh, ketika kalian ini pede aja di caci maki, dan terbukti penerbitannya cukup diperhitungkan. Bahkan ada yang mengatakan ada satu genre tersendiri yaitu genre FLP itu biarkan saja. Yang jelas bahwa generasi muda Islam itu wajib hadir di dunia sastra. Keyakinan ini saya rasakan betul ketika kedutaan besar Perancis mengundang 10 novelis dari Indonesia ternyata hanya saya dan Umar Khayam saja yang Islam. Kenyataan ini sangat buruk. Harus dibangkitkan anak-anak muda Islam supaya hadir dan benar-benar menjadi mayoritas, bukan hanya dalam jumlah tetapi juga dalam kesusatraan. Di dunia Islam ini pemikiran sufistis sudah disalurkan melalui fiksi, kadang-kadang pikiran saya ini nakal bahwa banyak hadits yang bentuknya itu cerpen. Misalnya 3 orang yang terjebak dalam gua. Kemampuan menulis seperti itu memang harus dikuasai anak muda untuk kepentingan Islam itu sendiri.

Bagaimana menterjemahkan fakta yang terpampang di depan kita untuk menjadi sebuah karya sastra?

Ada dua hal yang saya jadikan pegangan dalam hal menterjemahkan. Pertama: Tundukkanlah matamu terhadapp hal-hal yang mengandung maksiat. Kedua: Di segala apapun yang kamu lihat di sana ada bukti-bukti kebesaran tuhan.

Ada dua cara pendekatan untuk iqra terhadap fakta di depan mata. Pertama pakailah sensasimu, maka syetan yang akan masuk, kamu akan mengatakan yang buruk-buruk. Untuk pakailah akal bukan sensasi. Ketika akal yang berbicara syetan pergi, maka adakah bukti-bukti kebesaran tuhan dibalik fenomena itu. Maksudnya ada penulis yang memang harus tetap menundukkan kepala, dan harus ada pula yang harus berani tegak dimanapun berada.

Saya fikir dunia tulis menulis itu mencari bukti-bukti kebesaran Tuhan dimanapun. Jangan lupa syaratnya bismirabbikalladzi khalak, itu mutlak. Misalnya ketika kita melihat kotoran sapi, kalau sensasi yang bekerja maka jorok banget. Tapi coba pergunakan akal, kotoran sapi tersebut ditaruh dikaca mikroskop selanjutnya akan ditemukan berjuta-juta mikroba hidup di dalam kotoran sapi. Seluas itulah dunia yang kita hadapi sebagai penulis. Tapi kalau tidak siap maka jangan mencoba untuk tegak.

Kami melakukan program percepatan dalam bersastra (pemaksaan), apakah itu termasuk hal yang dibolehkan dan layak bagi seorang penulis? Atau Bapak mempunyai solusi lain?

Menulis itu sebetulnya bukan pekerjaan istimewa. Bisa dilakukan oleh siapapun, karena yang paling penting adalah proses, proses menjadi seorang penulis. Proses ini bisa berlangsung lama, bisa juga sebentar tergantung pada intensitas dan kapasitasnya, misalnya Cak Nun sangat cepat. Kalau saya seperti ada kewajiban untuk selalu membaca. Ini yang sering sulit untuk dilakukan membaca dan membaca. Saya telah membaca ratusan cerpen sebelum menulis cerpen, membaca ratusan novel sebelum membuat novel. Perlu juga bacaan-bacaan lain seperti sejarah, ekonomi, psikologi, perlu dibaca sebagai bekal, kalau kurang bekalnya nanti ketahuan seperti masakan kurang bumbu, kurang enak rasanya. Saya kira hal ini dianjurkan oleh agama kita sendiri. Ketika saya masih muda sehari semalam menulis 20 halaman, sekarang lain lagi ngantuk. Kalau umur 20 – 40 bolehlah memaksakan diri.

Kenapa ketika sedang menulis tiba-tiba berhenti di tengah jalan, gejala apa ini?

Kalau mau ke Jogya dari Solo satu liter tidak cukup, paling tidak 2,5 liter. Artinya menulis itu perlu bekal yang cukup, kalau bekal kita tidak cukup jadikan cerpen saja, kalau banyak bikin novel, itu soal kuantitas belum kualitas. Banyak orang bertanya kok Pak Tohari banyak menulis tentang binatang. Aneh kalau tidak merasakan tasbih di situ. Gejala angin, gejala air mengalir, itu iqra juga kan. Kita bertasbih dengan segala macam itu. Jangan lupa bismirabbikalladzi khalaq.

Seorang penulis tentunya mempunyai proses kreatif. Bagaimana proses kreatif yang dialami oleh bapak?

Saya sangat hobi membaca, juga membaca yang tidak ada hurufnya, kalau melihat kumbang anda mungkin bosan, saya perhatikan betul ada daun jatuh ada pertanyaan kenapa jatuh sekarang dan di sini kenapa bukan kemarin. Jadi pikiran kita rewel, akan terkumpul bahan-bahan karena kita selalu bertanya. Saya juga mempunyai hobi yang lain. Sejak SMP suka coret-coretan bermacam-macam bentuk seperti puisi, kolom, cerpen. Ternyata itu merupakan kunci bagi saya untuk menjadi penulis. Seluruh novel klasik Indonesia saya baca sejak SMP. Ketika saya mendapatkan buku rasanya seperti orang puasa hampir berbuka ingin segera membaca buku, menikmati hidangan di dalam buku hingga tuntas.

Keplesetnya saya jadi pengarang karena gara-gara ggal jadi dokter. Tahun ketiga FK ekonomi orang tua ambruk. Tadinya hobi diseriusi karena dapat honor lama-kelamaan senang. Inginnya melayani masyarakat dengan ilmu kesehatan, akhirnya melayani kehidupan ini dengan sastra. Menulis sastra itu sebenarnya mempertanggungjawabkan kehidupan ini bagi kehidupan, tapi sepertinya muluk banget untuk diomongkan. Jangan sampai membuat karya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Tantangan terberat bagi seseorang yang mendedikasikan diri menjadi seorang penulis itu apa?

Penulis kalangan santri kalau serius akan di terima di masyarakat. Masyarakat sastra itu mempunyai arogansi tersendiri. Karya-karya kita mungkin dianggap karya pop, mereka mengatakan gak ada kadar sastranya. Tidak apa-apa Mas Danarto di katakan sufi. Bagi saya itu semua nothing. Saya sudah mengalami sejak 30 tahun yang lalu. ketika saya digugat kok ronggeng yang ditulis, kenapa tidak santri.

Ketidaksukaan mengikuti proses, maunya cepat terbit, ini juga merupakan hambatan tersendiri.

Saya mengalami proses untuk menjadi seperti ini sampai delapan tahun. Bahwa kapasitas dan intensitas seseorang dalam proses menjadi penulis tidak harus selama itu. Kemudian kadang-kadang tidak pede, ini juga harus ditembus. Kalau tidak pede terus, kapan diterbitkannya. Kaki bukit cibalak saya gemetar kalau gak dimuat mungkin saya kapok. Ada hambatan penerbit terlalu ketat karena takut rugi. FLP bisa menempuh cara alternative bikin masyarakat pembaca sendiri, menyiapkan proses, kemudian membuang rasa kurang pede, membentuk pasar sendiri kalau mungkin.

Jangan lupa setiap kata yang ditulis minta pertanggungjawaban. Karena pada akhirnya fitrah kata adalah ciptaan tuhan. Jadi sebenarnya bermain-main memberdayakan kata sama artinya memberdayakan ciptaan tuhan. Sesuatu yang sangat dalam, maka jadikanlah kepenulisan anda tidak sia-sia.

(pernah dipublikasikan di majalah husnul khotimah)

PROFESOR SOSIOLOGI ANTROPOLOGI

Oleh: Sunarno

Abdullah Ali yang pakar sosiologi antropologi ini merupakan putra Asli Cirebon kelahiran 27 Nopember 1949. Beliau mengenyam pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi selalu di sekolah agama masih di Cirebon. Baru ketika mengikuti program master dan doctoral mencicipi universitas umum. Program Magister dijalaninya di Universitas Indonesia bersama tiga orang rekannya sebagai dosen IAIN dengan konsentrasi ilmu sosiologi. Universitas Padjadjaran merupakan tempat berikutnya menimba ilmu sosiologi antropologi dalam program doktoral.

Penulis buku tradisi kliwonan gunungjati model wisata religi kabupaten cirebon ini mengawali karir di dunia pendidikan sebagai dosen honorer di almamaternya STAIN Cirebon Fakultas Tarbiyah, resmi sebagai PNS pada tahun 1980. Pada saat ini di samping mengabdi di STAIN masih turut serta membesarkan beberapa perguruan tinggi di Cirebon sebagai dosen luar biasa.

Satu-satunya pakar Sosiologi antropologi se Wilayah 3 Ciebon ini telah aktif sejak usia muda di berbagai organisasi. Mulai dari organisasi yang terkait dengan dunia pendidikan (PII, HMI, KAPPI, GUPPI, OSIS) hingga yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dunia pendidikan (ICMI, Forum Lintas Pelaku) tidak ketinggalan juga pernah menjabat sebagai ketua MUI kota Cirebon.

Lelaki yang amat dekat dengan anak yatim ini telah menulis lebih dari sepuluh judul buku, yang sebagian besar digunakan sebagai bahan perkuliahan. Di sela-sela kesibukan perkuliahan, sebagai seorang dosen tentunya tak melupakan tridarma perguruan tinggi yang salah satunya adalah melakukan penelitian. Penelitoan-penelitian yang beliau lakukan tentu saja seputar keilmuannya dalam bidang sosiologi antropologi. Wilayah penelitiannya tidak hanya sesempit Kabupaten atau Wilayah III Cirebon saja, akan tetapi telah merambah hingga Blora dan kampung Badui, tentu saja untuk mengamalkan ilmunya dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.

Profesor Abdullah Ali memiliki keluarga besar yang sebenarnya. Beristrikan gadis dari Cilimus yang kakak ipar Ustadz Jajang Sopandi ini dikaruniai lima orang putra dan lima orang putri. Tidak hanya itu, Profesor Ali sangat dekat dengan anak-anak yatim. Kedekatan itu terjalin semenjak masih dibangku kuliah. Bagaimana hal itu bisa terjadi ketika dikonfirmasi beliau sendiri mengatakan tidak mengerti mengapa bisa demikian, ya inilah perjalanan hidup, begitu selorohnya.

Kisah kedekatan dengan anak yatim berawal ketika kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, beliau tinggal di masjid Al Abrar, komplek Slipi Blok K. Di masjid tersebut mengajarkan membaca Al Qur’an kepada anak-anak sekitar, salah satunya adalah Ferri Mursidan Baldan, anggota Fraksi Golkar di DPR RI. Suatu saat ada seorang bapak yang meninggal dipangkuan Abdullah Ali, dengan meninggalkan seorang anak kelas lima SD. Saat menjelang meninggal bapak tersebut sempat berwasiat agar Pak Abdullah Ali mau dititipi anaknya untuyk dikemudian hari. Begitu anak itu tamat SD, langsung dia membawa ijazah menyerahkan ke Abdullah Ali bahkan juga menyerahkan kehidupan selanjutnya. Dengan persetujuan sang istri dikirimlah anak tersebut ke Cilimus sebagai anak angkat. Sejak saat itu sepertinya Allah selalu memberi jalan agar Abdullah Ali selalu lekat dengan anak-anak yatim. Hingga saat ini jumlah anak yatim yang telah mengenyam kehidupan bersama Abdullah Ali melebihi jumlah anak kandungnya sendiri.

Keistimewaannya adalah bagaimana hal demikian bisa berlangsung lama, tanpa disertai dengan pernik-pernik masalah yang pelik terutama dari pihak keluarga. Benar-benar istimewa karena anak kandung maupun anak angkat (anak yatim) semua saling menerima, saling menghormati sehingga tidak ada rasa iri di pihak manapun, seakan-akan semuanya adalah anak kandung.

Dalam hal mendidik anak Abdullah Ali memiliki cara tersendiri, sebuah cara yang membuat orang lain berdecak kagum dan sejalan dengan disiplin ilmunya dibidang sosiologi antropologi. Kesepuluh anaknya semua mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Dua anak tertua (laki-laki) kini bermukim di Australia. Dari kesepuluh anak tersebut tersebar ke beberapa pesantren pilihan yaitu Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan, Assalam Surakarta, Gontor putra dan putri Ponorogo, Husnul Khotimah Kuningan dan Kemuning Cirebon.

Abdullah Ali tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk masuk pondok pesantren. Melalui pendekatan persuasif dengan banyak memberikan motivasi mendorong anak-anaknya menentukan pilihannya sendiri. Cara memotivasinya sangat sederhana. Abdullah Ali sekeluarga biasa melakukan wisata bersama anak-anaknya waktu ada libur panjang. Saat wisata tersebut selalu disisipkan kunjungan ke salah pesantren yang nantinya diharapkan ada anaknya yang tertarik. Wujud kunjungannya pun sangat sederhana. Waktu shalat, sholatnya di pondok pesantren yang dimaksud. Dari situlah kemudian anak-anak tertarik untuk nyantri.

Tahun 1987 mau dicalonkan sebagai Pudek (Pembantu Dekan) III, saat diusulkan ke rektor di Bandung, dalam waktu yang bersamaan ada orang tua yang ingin duduk di kursi itu, akhirnya dia minta kepada rektor, entah caranya bagaimana, Abdullah Ali di panggil ke Bandung, “Abdullah Ali anda masih muda, harapan masih panjang, ini ada bagus dari UI, itu tawaran pertama untuk seluruh dosen IAIN se-Indonesia kerjasama dengan Depag, kalau ini tidak diambil kita menyia-nyiakan kesempatan dan hanya anda yang bisa” begitulah kira-kira yang diucapkan rektor. Setelah didiskusikan bersama istri dan istikharah, hasilnya, 50-50 sama beratnya antara jabatan dan studi. Akhirnya, sudahlah ikut test saja dulu. Peserta 120 yang ikut ujian hanya diterima 20 orang saja. Dari 14 IAIN yang diterima hanya 3 orang. Pengumumannya dikirim ke Cilimus. Abdullah Ali langsung sujud syukur, dan istikharah lagi bersama istri ternyata dorongan untuk belajar naik menjadi 75%, untuk jabatan tinggal 25%. Akhirnya memilih melanjutkan studi.

Jadi mengapa Abdullah Ali belajar lagi? Belum ada kewajiban waktu itu, karena dosen IAIN wajib S2, tahun 1995, sebelumnya belum ada kewajiban. Resikonya sudah jelas, kalau duduk dapat duit, kalau sekolah keluar duit, buang duit, walaupun disubsidi dari Departemen Agama tapi tetap keluar duit untuk transport dan kontrakan. Dari situlah kemudian mendapat pandangan ilmu yang sangat berharga, dan karena itu pandangan-pandangan Abdullah Ali tentang agama selalu dilapisi dengan wawasan antropologi.

Bahwa pada dasarnya setiap manusia punya kepercayaan sendiri, punya knowledge sendiri, punya norma sendiri, punya value sendiri, dan itu kita tidak bisa memaksakan kehendak, sebab itu antropolog orang yang paling toleran didalam kepercayaan baik antar agama ataupun intern agama, itu antara lain wawasan yang tumbuh dari kajian antropologi.

Begitu wisuda selesai tahun 1991, setelah itu ada edaran dari Menteri, seluruh dosen IAIN untuk mempersiapkan pendidikan selanjutnya. waktu itu ada S3 tanpa harus tesis terlebih dahulu, enak sekali sekolah satu tahun langsung doktor tanpa S2 lagi. Tiba-tiba ada tawaran dari UNPAD, sebagai satu-satunya ahli antropologi di Cirebon, maka siap berangkat. Mei 1998 mendaftarkan diri. Setelah di UNPAD mendapatkan kenyataan bahwa antara sosiologi dan antropologi itu adalah kajian ibarat satu mata uang, kiri kanannya berbeda tapi hakikatnya satu. Sosiologi itu mempelarajari masyarakatnya, antropologi itu mempelajari kebudayaannya. Tidak ada masyarakat yang tidak berkebudayaan sekecil apapun pasti ada budaya masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat.

(publikasi di Media Husnul Khotimah)

Mempertanyakan teori darwin

ILMIAHKAH TEORI DARWIN?

Oleh: Sunarno, S.Si.

(Pengajar Biologi di MTs Husnul Khotimah)

Buku The Origin of Spesies dianggap sebagai induk dari ajaran evolusi. Darwin memaparkan penyajian di dalam buku tersebut sangat detil sehingga menyeret para pembacanya untuk mengakui bahwa hukum evolusi itu memang benar. Darwin mengemukakan bahwa semua organisme yang ada atau yang sudah ada, telah berkembang dari beberapa bentuk yang sangat sederhana atau dari satu bentuk saja, lewat suatu proses keturunan dengan modifikasi. Karena proses itu berjalan secara terus menerus ke banyak arah, maka individu yang mengalami suatu variasi khusus, akan memiliki sedikit kemajuan bila dibandingkan dengan para pesaingnya dalam lingkungan yang tertentu.

Darwin mengajukan teorinya berdasarkan argumentasi adanya variasi antar individu dan seleksi alam (Survival of The Fittest).

Ketika kita dihadapkan pada argumentasi tentang tidak adanya dua individu yang sama, kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali hanya bisa membenarkannya. Kita selalu menghadapi variasi antara individu di sekitar kita. Hanya peristiwa luar biasa berupa kelahiran kembar identik yang berada di luar asumsi ini. Meskipun demikian perhitungan ilmiah masih memungkinkan menerima argumentasi tersebut karena angka kejadian kembar identik belum tentu terjadi satu di antara satu juta penduduk.

Survival of the fittest merupakan formulasi yang juga mau tidak mau kita sangat kerepotan untuk membantahnya. Sangat jelas organisme yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungannya akan tersingkir. Jika tetap juga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru maka hanya kepunahanlah yang akan terjadi.

Domestikasi yang dilakukan oleh manusia secara tidak langsung justru semakin memperkuat asumsi ini. Para peternak tentu lebih memilih jenis ternak yang mempunyai kualitas yang bagus. Demikian juga para petani tidak mau menggunakan bibit yang rentan terhadap serangan hama, atau yang tidak segera memberikan hasil. Pilihan-pilihan yang demikian itu dapat mengakibatkan jenis-jenis liar menjadi semakin terdesak. Atau bahkan beberapa spesies (jenis) dengan sengaja dimusnahkan oleh manusia karena dianggap sama sekali tidak menguntungkan atau bahkan merugikan.

Adanya organisme yang hanya mendiami daerah yang terbatas semisal komodo, badak jawa, tapir, burung cendrawasih, kanguru; semakin memperkuat asumsi survival ini. Yang paling sesuai maka organisme itu yang akan mempertahankan jenisnya, yang lain mau tidak mau tersingkir dan tidak ada pilihan yang lain.

Jadi, ilmiahkah teori Darwin? Jangan tergesa-gesa untuk mengambil sebuah kesimpulan. Kita lacak buku The Origin of Species Bab VII, yang secara khusus membahas tentang berbagai keberatan terhadap teori seleksi alam dan dipertegas dalam bab sebelumnya dengan judul kesulitan teori ini. Ditambah lagi Bab X membicarakan tentang catatan geologi yang tidak sempurna.

Bab VI membahas tentang kesulitan-kesulitan teori yang dicoba untuk dijabarkan secara panjang lebar. Kita cukup membahas kesulitan teori yang pertama di antara empat kesulitan yang dicantumkan di dalam The Origin of Spesies. Kesulitan ini pula yang dicantumkan dalam tiga bab yang dimaksud. Kesulitan teori itu adalah jika spesies memang berasal dari dari spesies lain melalui perubahan yang baik, mengapa kita tidak melihat banyak bentuk transisi dimana-mana?

Darwin mencoba menguraikan jawabannya terhadap keberatan ini bahwa rekaman geologi dilihat secara keseluruhan memang tidak sempurna. Lebih lanjut tidak sedikit Darwin mengemukakan argumen-argumennya tidak dengan bersandarkan pada penelitian yang mendalam akan tetapi memberikan penjelasan berdasarkan asumsi seperti dalam ringkasan menyatakan mengenai penyebab ketidaklengkapan rekaman geologi ini di dalam ilustrasi imajiner. Darwin mengkomparasikan imajinernya antara Eropa dengan Kepulauan Malaya.

Kepulauan Malaya saat ini diasumsikan menyerupai formasi Eropa tahap berakumulasi. Malaya dinilai mempunyai kekayaan organisme yang melimpah, akan tetapi tidak banyak yang tersimpan secara sempurna karena endapan sediment tidak cukup guna melindungi jasad-jasad organic dari kerusakan.

Realita saat ini kalau kita menengok Situs Pra Sejarah Sangiran, wilayah terluas di dunia tempat ditemukannya fosil. Benar Bengawan Solo ada sejak masa Pra Sejarah berdasarkan hitungan geologi, sehingga dapat dikatakan sungai purba yang masih ada hingga saat ini, meskipun dengan beberapa titik mengalami pergeseran lokasi. Di Sangiran ditemukan fosil makhluk lautan dan juga daratan Peninggalan Bengawan Solo hanya memberikan gambaran bahwa daratan dan lautan tidak kekal posisinya. Akan tetapi tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik benarkah ada mata rantai evolusi organic (kehidupan) yang bisa mewakili asumsi Darwin.

Sangiran dengan Bengawan Solo yang memiliki wilayah paling luas ditemukannya fosil tidak bisa menjelaskan runtutan evolusi, lantas bagaimana dengan daratan Amerika, Eropa, Afrika yang memiliki wilayah lebih sempit?

Jika kita kaitkan dengan metodologi ilmiah, dikatakan ilmiah adalah salah satunya jika bisa ditelusuri kembali oleh pihak lain. Fakta yang ada justru sebaliknya semakin banyak pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan teori evolusi. Genetika Mendel yang diklaim sebagai kelanjutan evolusi tidak bisa memberikan gambaran bagaimana spesies-spesies transisi itu terbentuk dan kemudian punah. Justru sebaliknya memberikan gambaran yang jelas tentang kekhasan organisme yang hanya diwariskan kepada jenisnya bukan ke bentuk lain. Sistem klasifikasi (tata nama hewan dan tumbuhan - Binomium nomenklature) Linaeus bisa berdiri sendiri dengan mengabaikan teori evolusi, karena kemiripan morfologi (ciri-ciri fisik), sistem dalam tubuh makhluk hidup adalah sesuatu yang tidak sulit untuk dipelajari dan ditelaah kembali.

(pernah dimuat di majalah husnul khotimah)

Puisi KAMPUNG HALAMAN

KAMPUNG HALAMAN

tempat melahirkan kisah tanpa catatan sejarah
dalam buku-buku anak sekolah

minibus berebut jalanan cari penumpang

pelajar, pns, para tukang, juga petani
para blantik, penjual sayur, pedagang beras
bergegas berkejaran dengan matahari pagi
bertebaran dengan jalannya sendiri-sendiri
mengharap peruntungan masing-masing

nyanyian pipit beradu hentakan petani
mengetam padi
meleleh keringat diujung caping
menghadang matahari

blantik menaksir harga seekor kambing
penjual sayur mengikat kangkung
dan menimbang kentang
pedagang beras menawarkan dagangannya
pembeli menawar dengan harga murah

suatu kampung
telah lahir seorang profesor

(puisi ini sengaja kutulis untuk mengenang jasa kepala desa di suatu desa di Boyolali yang dua anaknya telah menjadi profesor, salah satunya Prof. Kartomo Wirosuhardjo). puisi ini pernah dimuat di majalah milik kampus Universitas Kuningan setahun yang lalu.