Sabtu, 30 Agustus 2008

Ahmad Tohari Sang Novelis

Ahmad Tohari

Sore berbalut hujan, ketika saya mengikuti acara Musyawarah Wilayah Farum Lingkar Pena Jawa Tengah. Kami peserta Muswil hanya berkesempatan selama satu jam untuk berdiskusi dengan penulis novel Orang-orang Proyek ini.

Adapun sebagian dari diskusi tersebut kami susun dalam bentuk wawancara (tentunya dengan seijin Ahmad Tohari) sebagai berikut:

Bagaimana pengamatan Bapak tentang Forum Lingkar Pena (FLP), sebagai generasi pelapis, kami ingin meneruskan generasi Bapak!

Saya merasa ikut mendorong lahirnya FLP sejak jamannya Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Asma Nadia, ikut memperhatikan mendorong, memberikan ruang. Saya adalah orang yang selalu percaya bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang tetap, senantiasa tumbuh, ketika kalian ini pede aja di caci maki, dan terbukti penerbitannya cukup diperhitungkan. Bahkan ada yang mengatakan ada satu genre tersendiri yaitu genre FLP itu biarkan saja. Yang jelas bahwa generasi muda Islam itu wajib hadir di dunia sastra. Keyakinan ini saya rasakan betul ketika kedutaan besar Perancis mengundang 10 novelis dari Indonesia ternyata hanya saya dan Umar Khayam saja yang Islam. Kenyataan ini sangat buruk. Harus dibangkitkan anak-anak muda Islam supaya hadir dan benar-benar menjadi mayoritas, bukan hanya dalam jumlah tetapi juga dalam kesusatraan. Di dunia Islam ini pemikiran sufistis sudah disalurkan melalui fiksi, kadang-kadang pikiran saya ini nakal bahwa banyak hadits yang bentuknya itu cerpen. Misalnya 3 orang yang terjebak dalam gua. Kemampuan menulis seperti itu memang harus dikuasai anak muda untuk kepentingan Islam itu sendiri.

Bagaimana menterjemahkan fakta yang terpampang di depan kita untuk menjadi sebuah karya sastra?

Ada dua hal yang saya jadikan pegangan dalam hal menterjemahkan. Pertama: Tundukkanlah matamu terhadapp hal-hal yang mengandung maksiat. Kedua: Di segala apapun yang kamu lihat di sana ada bukti-bukti kebesaran tuhan.

Ada dua cara pendekatan untuk iqra terhadap fakta di depan mata. Pertama pakailah sensasimu, maka syetan yang akan masuk, kamu akan mengatakan yang buruk-buruk. Untuk pakailah akal bukan sensasi. Ketika akal yang berbicara syetan pergi, maka adakah bukti-bukti kebesaran tuhan dibalik fenomena itu. Maksudnya ada penulis yang memang harus tetap menundukkan kepala, dan harus ada pula yang harus berani tegak dimanapun berada.

Saya fikir dunia tulis menulis itu mencari bukti-bukti kebesaran Tuhan dimanapun. Jangan lupa syaratnya bismirabbikalladzi khalak, itu mutlak. Misalnya ketika kita melihat kotoran sapi, kalau sensasi yang bekerja maka jorok banget. Tapi coba pergunakan akal, kotoran sapi tersebut ditaruh dikaca mikroskop selanjutnya akan ditemukan berjuta-juta mikroba hidup di dalam kotoran sapi. Seluas itulah dunia yang kita hadapi sebagai penulis. Tapi kalau tidak siap maka jangan mencoba untuk tegak.

Kami melakukan program percepatan dalam bersastra (pemaksaan), apakah itu termasuk hal yang dibolehkan dan layak bagi seorang penulis? Atau Bapak mempunyai solusi lain?

Menulis itu sebetulnya bukan pekerjaan istimewa. Bisa dilakukan oleh siapapun, karena yang paling penting adalah proses, proses menjadi seorang penulis. Proses ini bisa berlangsung lama, bisa juga sebentar tergantung pada intensitas dan kapasitasnya, misalnya Cak Nun sangat cepat. Kalau saya seperti ada kewajiban untuk selalu membaca. Ini yang sering sulit untuk dilakukan membaca dan membaca. Saya telah membaca ratusan cerpen sebelum menulis cerpen, membaca ratusan novel sebelum membuat novel. Perlu juga bacaan-bacaan lain seperti sejarah, ekonomi, psikologi, perlu dibaca sebagai bekal, kalau kurang bekalnya nanti ketahuan seperti masakan kurang bumbu, kurang enak rasanya. Saya kira hal ini dianjurkan oleh agama kita sendiri. Ketika saya masih muda sehari semalam menulis 20 halaman, sekarang lain lagi ngantuk. Kalau umur 20 – 40 bolehlah memaksakan diri.

Kenapa ketika sedang menulis tiba-tiba berhenti di tengah jalan, gejala apa ini?

Kalau mau ke Jogya dari Solo satu liter tidak cukup, paling tidak 2,5 liter. Artinya menulis itu perlu bekal yang cukup, kalau bekal kita tidak cukup jadikan cerpen saja, kalau banyak bikin novel, itu soal kuantitas belum kualitas. Banyak orang bertanya kok Pak Tohari banyak menulis tentang binatang. Aneh kalau tidak merasakan tasbih di situ. Gejala angin, gejala air mengalir, itu iqra juga kan. Kita bertasbih dengan segala macam itu. Jangan lupa bismirabbikalladzi khalaq.

Seorang penulis tentunya mempunyai proses kreatif. Bagaimana proses kreatif yang dialami oleh bapak?

Saya sangat hobi membaca, juga membaca yang tidak ada hurufnya, kalau melihat kumbang anda mungkin bosan, saya perhatikan betul ada daun jatuh ada pertanyaan kenapa jatuh sekarang dan di sini kenapa bukan kemarin. Jadi pikiran kita rewel, akan terkumpul bahan-bahan karena kita selalu bertanya. Saya juga mempunyai hobi yang lain. Sejak SMP suka coret-coretan bermacam-macam bentuk seperti puisi, kolom, cerpen. Ternyata itu merupakan kunci bagi saya untuk menjadi penulis. Seluruh novel klasik Indonesia saya baca sejak SMP. Ketika saya mendapatkan buku rasanya seperti orang puasa hampir berbuka ingin segera membaca buku, menikmati hidangan di dalam buku hingga tuntas.

Keplesetnya saya jadi pengarang karena gara-gara ggal jadi dokter. Tahun ketiga FK ekonomi orang tua ambruk. Tadinya hobi diseriusi karena dapat honor lama-kelamaan senang. Inginnya melayani masyarakat dengan ilmu kesehatan, akhirnya melayani kehidupan ini dengan sastra. Menulis sastra itu sebenarnya mempertanggungjawabkan kehidupan ini bagi kehidupan, tapi sepertinya muluk banget untuk diomongkan. Jangan sampai membuat karya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Tantangan terberat bagi seseorang yang mendedikasikan diri menjadi seorang penulis itu apa?

Penulis kalangan santri kalau serius akan di terima di masyarakat. Masyarakat sastra itu mempunyai arogansi tersendiri. Karya-karya kita mungkin dianggap karya pop, mereka mengatakan gak ada kadar sastranya. Tidak apa-apa Mas Danarto di katakan sufi. Bagi saya itu semua nothing. Saya sudah mengalami sejak 30 tahun yang lalu. ketika saya digugat kok ronggeng yang ditulis, kenapa tidak santri.

Ketidaksukaan mengikuti proses, maunya cepat terbit, ini juga merupakan hambatan tersendiri.

Saya mengalami proses untuk menjadi seperti ini sampai delapan tahun. Bahwa kapasitas dan intensitas seseorang dalam proses menjadi penulis tidak harus selama itu. Kemudian kadang-kadang tidak pede, ini juga harus ditembus. Kalau tidak pede terus, kapan diterbitkannya. Kaki bukit cibalak saya gemetar kalau gak dimuat mungkin saya kapok. Ada hambatan penerbit terlalu ketat karena takut rugi. FLP bisa menempuh cara alternative bikin masyarakat pembaca sendiri, menyiapkan proses, kemudian membuang rasa kurang pede, membentuk pasar sendiri kalau mungkin.

Jangan lupa setiap kata yang ditulis minta pertanggungjawaban. Karena pada akhirnya fitrah kata adalah ciptaan tuhan. Jadi sebenarnya bermain-main memberdayakan kata sama artinya memberdayakan ciptaan tuhan. Sesuatu yang sangat dalam, maka jadikanlah kepenulisan anda tidak sia-sia.

(pernah dipublikasikan di majalah husnul khotimah)

PROFESOR SOSIOLOGI ANTROPOLOGI

Oleh: Sunarno

Abdullah Ali yang pakar sosiologi antropologi ini merupakan putra Asli Cirebon kelahiran 27 Nopember 1949. Beliau mengenyam pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi selalu di sekolah agama masih di Cirebon. Baru ketika mengikuti program master dan doctoral mencicipi universitas umum. Program Magister dijalaninya di Universitas Indonesia bersama tiga orang rekannya sebagai dosen IAIN dengan konsentrasi ilmu sosiologi. Universitas Padjadjaran merupakan tempat berikutnya menimba ilmu sosiologi antropologi dalam program doktoral.

Penulis buku tradisi kliwonan gunungjati model wisata religi kabupaten cirebon ini mengawali karir di dunia pendidikan sebagai dosen honorer di almamaternya STAIN Cirebon Fakultas Tarbiyah, resmi sebagai PNS pada tahun 1980. Pada saat ini di samping mengabdi di STAIN masih turut serta membesarkan beberapa perguruan tinggi di Cirebon sebagai dosen luar biasa.

Satu-satunya pakar Sosiologi antropologi se Wilayah 3 Ciebon ini telah aktif sejak usia muda di berbagai organisasi. Mulai dari organisasi yang terkait dengan dunia pendidikan (PII, HMI, KAPPI, GUPPI, OSIS) hingga yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dunia pendidikan (ICMI, Forum Lintas Pelaku) tidak ketinggalan juga pernah menjabat sebagai ketua MUI kota Cirebon.

Lelaki yang amat dekat dengan anak yatim ini telah menulis lebih dari sepuluh judul buku, yang sebagian besar digunakan sebagai bahan perkuliahan. Di sela-sela kesibukan perkuliahan, sebagai seorang dosen tentunya tak melupakan tridarma perguruan tinggi yang salah satunya adalah melakukan penelitian. Penelitoan-penelitian yang beliau lakukan tentu saja seputar keilmuannya dalam bidang sosiologi antropologi. Wilayah penelitiannya tidak hanya sesempit Kabupaten atau Wilayah III Cirebon saja, akan tetapi telah merambah hingga Blora dan kampung Badui, tentu saja untuk mengamalkan ilmunya dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.

Profesor Abdullah Ali memiliki keluarga besar yang sebenarnya. Beristrikan gadis dari Cilimus yang kakak ipar Ustadz Jajang Sopandi ini dikaruniai lima orang putra dan lima orang putri. Tidak hanya itu, Profesor Ali sangat dekat dengan anak-anak yatim. Kedekatan itu terjalin semenjak masih dibangku kuliah. Bagaimana hal itu bisa terjadi ketika dikonfirmasi beliau sendiri mengatakan tidak mengerti mengapa bisa demikian, ya inilah perjalanan hidup, begitu selorohnya.

Kisah kedekatan dengan anak yatim berawal ketika kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, beliau tinggal di masjid Al Abrar, komplek Slipi Blok K. Di masjid tersebut mengajarkan membaca Al Qur’an kepada anak-anak sekitar, salah satunya adalah Ferri Mursidan Baldan, anggota Fraksi Golkar di DPR RI. Suatu saat ada seorang bapak yang meninggal dipangkuan Abdullah Ali, dengan meninggalkan seorang anak kelas lima SD. Saat menjelang meninggal bapak tersebut sempat berwasiat agar Pak Abdullah Ali mau dititipi anaknya untuyk dikemudian hari. Begitu anak itu tamat SD, langsung dia membawa ijazah menyerahkan ke Abdullah Ali bahkan juga menyerahkan kehidupan selanjutnya. Dengan persetujuan sang istri dikirimlah anak tersebut ke Cilimus sebagai anak angkat. Sejak saat itu sepertinya Allah selalu memberi jalan agar Abdullah Ali selalu lekat dengan anak-anak yatim. Hingga saat ini jumlah anak yatim yang telah mengenyam kehidupan bersama Abdullah Ali melebihi jumlah anak kandungnya sendiri.

Keistimewaannya adalah bagaimana hal demikian bisa berlangsung lama, tanpa disertai dengan pernik-pernik masalah yang pelik terutama dari pihak keluarga. Benar-benar istimewa karena anak kandung maupun anak angkat (anak yatim) semua saling menerima, saling menghormati sehingga tidak ada rasa iri di pihak manapun, seakan-akan semuanya adalah anak kandung.

Dalam hal mendidik anak Abdullah Ali memiliki cara tersendiri, sebuah cara yang membuat orang lain berdecak kagum dan sejalan dengan disiplin ilmunya dibidang sosiologi antropologi. Kesepuluh anaknya semua mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Dua anak tertua (laki-laki) kini bermukim di Australia. Dari kesepuluh anak tersebut tersebar ke beberapa pesantren pilihan yaitu Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan, Assalam Surakarta, Gontor putra dan putri Ponorogo, Husnul Khotimah Kuningan dan Kemuning Cirebon.

Abdullah Ali tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk masuk pondok pesantren. Melalui pendekatan persuasif dengan banyak memberikan motivasi mendorong anak-anaknya menentukan pilihannya sendiri. Cara memotivasinya sangat sederhana. Abdullah Ali sekeluarga biasa melakukan wisata bersama anak-anaknya waktu ada libur panjang. Saat wisata tersebut selalu disisipkan kunjungan ke salah pesantren yang nantinya diharapkan ada anaknya yang tertarik. Wujud kunjungannya pun sangat sederhana. Waktu shalat, sholatnya di pondok pesantren yang dimaksud. Dari situlah kemudian anak-anak tertarik untuk nyantri.

Tahun 1987 mau dicalonkan sebagai Pudek (Pembantu Dekan) III, saat diusulkan ke rektor di Bandung, dalam waktu yang bersamaan ada orang tua yang ingin duduk di kursi itu, akhirnya dia minta kepada rektor, entah caranya bagaimana, Abdullah Ali di panggil ke Bandung, “Abdullah Ali anda masih muda, harapan masih panjang, ini ada bagus dari UI, itu tawaran pertama untuk seluruh dosen IAIN se-Indonesia kerjasama dengan Depag, kalau ini tidak diambil kita menyia-nyiakan kesempatan dan hanya anda yang bisa” begitulah kira-kira yang diucapkan rektor. Setelah didiskusikan bersama istri dan istikharah, hasilnya, 50-50 sama beratnya antara jabatan dan studi. Akhirnya, sudahlah ikut test saja dulu. Peserta 120 yang ikut ujian hanya diterima 20 orang saja. Dari 14 IAIN yang diterima hanya 3 orang. Pengumumannya dikirim ke Cilimus. Abdullah Ali langsung sujud syukur, dan istikharah lagi bersama istri ternyata dorongan untuk belajar naik menjadi 75%, untuk jabatan tinggal 25%. Akhirnya memilih melanjutkan studi.

Jadi mengapa Abdullah Ali belajar lagi? Belum ada kewajiban waktu itu, karena dosen IAIN wajib S2, tahun 1995, sebelumnya belum ada kewajiban. Resikonya sudah jelas, kalau duduk dapat duit, kalau sekolah keluar duit, buang duit, walaupun disubsidi dari Departemen Agama tapi tetap keluar duit untuk transport dan kontrakan. Dari situlah kemudian mendapat pandangan ilmu yang sangat berharga, dan karena itu pandangan-pandangan Abdullah Ali tentang agama selalu dilapisi dengan wawasan antropologi.

Bahwa pada dasarnya setiap manusia punya kepercayaan sendiri, punya knowledge sendiri, punya norma sendiri, punya value sendiri, dan itu kita tidak bisa memaksakan kehendak, sebab itu antropolog orang yang paling toleran didalam kepercayaan baik antar agama ataupun intern agama, itu antara lain wawasan yang tumbuh dari kajian antropologi.

Begitu wisuda selesai tahun 1991, setelah itu ada edaran dari Menteri, seluruh dosen IAIN untuk mempersiapkan pendidikan selanjutnya. waktu itu ada S3 tanpa harus tesis terlebih dahulu, enak sekali sekolah satu tahun langsung doktor tanpa S2 lagi. Tiba-tiba ada tawaran dari UNPAD, sebagai satu-satunya ahli antropologi di Cirebon, maka siap berangkat. Mei 1998 mendaftarkan diri. Setelah di UNPAD mendapatkan kenyataan bahwa antara sosiologi dan antropologi itu adalah kajian ibarat satu mata uang, kiri kanannya berbeda tapi hakikatnya satu. Sosiologi itu mempelarajari masyarakatnya, antropologi itu mempelajari kebudayaannya. Tidak ada masyarakat yang tidak berkebudayaan sekecil apapun pasti ada budaya masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat.

(publikasi di Media Husnul Khotimah)

Mempertanyakan teori darwin

ILMIAHKAH TEORI DARWIN?

Oleh: Sunarno, S.Si.

(Pengajar Biologi di MTs Husnul Khotimah)

Buku The Origin of Spesies dianggap sebagai induk dari ajaran evolusi. Darwin memaparkan penyajian di dalam buku tersebut sangat detil sehingga menyeret para pembacanya untuk mengakui bahwa hukum evolusi itu memang benar. Darwin mengemukakan bahwa semua organisme yang ada atau yang sudah ada, telah berkembang dari beberapa bentuk yang sangat sederhana atau dari satu bentuk saja, lewat suatu proses keturunan dengan modifikasi. Karena proses itu berjalan secara terus menerus ke banyak arah, maka individu yang mengalami suatu variasi khusus, akan memiliki sedikit kemajuan bila dibandingkan dengan para pesaingnya dalam lingkungan yang tertentu.

Darwin mengajukan teorinya berdasarkan argumentasi adanya variasi antar individu dan seleksi alam (Survival of The Fittest).

Ketika kita dihadapkan pada argumentasi tentang tidak adanya dua individu yang sama, kita tidak mempunyai pilihan lain kecuali hanya bisa membenarkannya. Kita selalu menghadapi variasi antara individu di sekitar kita. Hanya peristiwa luar biasa berupa kelahiran kembar identik yang berada di luar asumsi ini. Meskipun demikian perhitungan ilmiah masih memungkinkan menerima argumentasi tersebut karena angka kejadian kembar identik belum tentu terjadi satu di antara satu juta penduduk.

Survival of the fittest merupakan formulasi yang juga mau tidak mau kita sangat kerepotan untuk membantahnya. Sangat jelas organisme yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungannya akan tersingkir. Jika tetap juga tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru maka hanya kepunahanlah yang akan terjadi.

Domestikasi yang dilakukan oleh manusia secara tidak langsung justru semakin memperkuat asumsi ini. Para peternak tentu lebih memilih jenis ternak yang mempunyai kualitas yang bagus. Demikian juga para petani tidak mau menggunakan bibit yang rentan terhadap serangan hama, atau yang tidak segera memberikan hasil. Pilihan-pilihan yang demikian itu dapat mengakibatkan jenis-jenis liar menjadi semakin terdesak. Atau bahkan beberapa spesies (jenis) dengan sengaja dimusnahkan oleh manusia karena dianggap sama sekali tidak menguntungkan atau bahkan merugikan.

Adanya organisme yang hanya mendiami daerah yang terbatas semisal komodo, badak jawa, tapir, burung cendrawasih, kanguru; semakin memperkuat asumsi survival ini. Yang paling sesuai maka organisme itu yang akan mempertahankan jenisnya, yang lain mau tidak mau tersingkir dan tidak ada pilihan yang lain.

Jadi, ilmiahkah teori Darwin? Jangan tergesa-gesa untuk mengambil sebuah kesimpulan. Kita lacak buku The Origin of Species Bab VII, yang secara khusus membahas tentang berbagai keberatan terhadap teori seleksi alam dan dipertegas dalam bab sebelumnya dengan judul kesulitan teori ini. Ditambah lagi Bab X membicarakan tentang catatan geologi yang tidak sempurna.

Bab VI membahas tentang kesulitan-kesulitan teori yang dicoba untuk dijabarkan secara panjang lebar. Kita cukup membahas kesulitan teori yang pertama di antara empat kesulitan yang dicantumkan di dalam The Origin of Spesies. Kesulitan ini pula yang dicantumkan dalam tiga bab yang dimaksud. Kesulitan teori itu adalah jika spesies memang berasal dari dari spesies lain melalui perubahan yang baik, mengapa kita tidak melihat banyak bentuk transisi dimana-mana?

Darwin mencoba menguraikan jawabannya terhadap keberatan ini bahwa rekaman geologi dilihat secara keseluruhan memang tidak sempurna. Lebih lanjut tidak sedikit Darwin mengemukakan argumen-argumennya tidak dengan bersandarkan pada penelitian yang mendalam akan tetapi memberikan penjelasan berdasarkan asumsi seperti dalam ringkasan menyatakan mengenai penyebab ketidaklengkapan rekaman geologi ini di dalam ilustrasi imajiner. Darwin mengkomparasikan imajinernya antara Eropa dengan Kepulauan Malaya.

Kepulauan Malaya saat ini diasumsikan menyerupai formasi Eropa tahap berakumulasi. Malaya dinilai mempunyai kekayaan organisme yang melimpah, akan tetapi tidak banyak yang tersimpan secara sempurna karena endapan sediment tidak cukup guna melindungi jasad-jasad organic dari kerusakan.

Realita saat ini kalau kita menengok Situs Pra Sejarah Sangiran, wilayah terluas di dunia tempat ditemukannya fosil. Benar Bengawan Solo ada sejak masa Pra Sejarah berdasarkan hitungan geologi, sehingga dapat dikatakan sungai purba yang masih ada hingga saat ini, meskipun dengan beberapa titik mengalami pergeseran lokasi. Di Sangiran ditemukan fosil makhluk lautan dan juga daratan Peninggalan Bengawan Solo hanya memberikan gambaran bahwa daratan dan lautan tidak kekal posisinya. Akan tetapi tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik benarkah ada mata rantai evolusi organic (kehidupan) yang bisa mewakili asumsi Darwin.

Sangiran dengan Bengawan Solo yang memiliki wilayah paling luas ditemukannya fosil tidak bisa menjelaskan runtutan evolusi, lantas bagaimana dengan daratan Amerika, Eropa, Afrika yang memiliki wilayah lebih sempit?

Jika kita kaitkan dengan metodologi ilmiah, dikatakan ilmiah adalah salah satunya jika bisa ditelusuri kembali oleh pihak lain. Fakta yang ada justru sebaliknya semakin banyak pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan teori evolusi. Genetika Mendel yang diklaim sebagai kelanjutan evolusi tidak bisa memberikan gambaran bagaimana spesies-spesies transisi itu terbentuk dan kemudian punah. Justru sebaliknya memberikan gambaran yang jelas tentang kekhasan organisme yang hanya diwariskan kepada jenisnya bukan ke bentuk lain. Sistem klasifikasi (tata nama hewan dan tumbuhan - Binomium nomenklature) Linaeus bisa berdiri sendiri dengan mengabaikan teori evolusi, karena kemiripan morfologi (ciri-ciri fisik), sistem dalam tubuh makhluk hidup adalah sesuatu yang tidak sulit untuk dipelajari dan ditelaah kembali.

(pernah dimuat di majalah husnul khotimah)

Puisi KAMPUNG HALAMAN

KAMPUNG HALAMAN

tempat melahirkan kisah tanpa catatan sejarah
dalam buku-buku anak sekolah

minibus berebut jalanan cari penumpang

pelajar, pns, para tukang, juga petani
para blantik, penjual sayur, pedagang beras
bergegas berkejaran dengan matahari pagi
bertebaran dengan jalannya sendiri-sendiri
mengharap peruntungan masing-masing

nyanyian pipit beradu hentakan petani
mengetam padi
meleleh keringat diujung caping
menghadang matahari

blantik menaksir harga seekor kambing
penjual sayur mengikat kangkung
dan menimbang kentang
pedagang beras menawarkan dagangannya
pembeli menawar dengan harga murah

suatu kampung
telah lahir seorang profesor

(puisi ini sengaja kutulis untuk mengenang jasa kepala desa di suatu desa di Boyolali yang dua anaknya telah menjadi profesor, salah satunya Prof. Kartomo Wirosuhardjo). puisi ini pernah dimuat di majalah milik kampus Universitas Kuningan setahun yang lalu.