Sabtu, 13 September 2008

PUISI-PUISI di MAJALAH HK

DIENG AGUSTUS

Perapian menyengat tinggal arang

Asap mengukir kepalsuan angan

Meliuk-liuk

Bau kemenyan menyedak

Aduh pengap

Angin mendesak minta tempat

Secangkir kopi tak lagi hangat

Sebongkah jagung mampir ke

Obrolan tak tentu asal bicara

Atap langit tinggal sejengkal

Berkelebat membalik senja

Engkaukah itu?

Yang bikin gigil cemara kaku

Tak ada gerimis kadang bersalju

2000

KEMARAU

Debu berputar menyambar dedaunan

Rongsokan berserakan beterbangan

Memainkan lagu ombak

Harmoni semesta sajak

Melodi pertarungan

Sejak matahari lagi ternakar

Awan tak sanggup mengumpul

Mata air pindah ke manusia

Tak lagi punya air mata

3/98

KABUT ITU TURUN

(Dieng suatu hari)

Embun memeluk erat batu beku

Nafas menekan dada hingga sesak

Selimut tebal menggulung sepi

Tak jua beranjak

Tanpa perapian penghangatan

Pagi-pagi matahari tergadaikan

Bumi kaku menenggak malam

Langit kian tak ada jarak

Gunung merunduk terbalut kaku

Cemara hanya mampu berjajar gigil

Rumah-rumah memutih ditelan kabut

Kampong mati senyap

Embun memeluk erat batu beku

Daun-daun resah dalam igau

Melayang-layang tanpa tempat berpijak

Aku sujud dalam sunyi

2000

AKHIR RAMADHAN

Bulan ini penuh harap

Sejengkal telah pergi

Mengais-ngais sisa

Masih kutemui

Masih kudapati

Sedang nyawaku tak kumaknai

Sujudku belum tunduk

Rukukku belum khusyu’

Rumahku belum kokoh

Tiang-tiangnya masih rapuh

Digerogoti rayap kemunafikan

jalanMu sering kulalui

ya Ghafur ampunkan hamba

awal 2000

CERPEN

PAGEBLUK

Oleh: Sunarno

Aku tercenung di depan batu nisan. Belum lama berselang para pengantar jenazah kembali pulang. Sebuah kematian yang teramat kuat lekat dalam ingatan. Ayahku adalah orang keempat. Tidak sampai bilangan mingguan. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Nyaris aku menggugat Tuhan. Berkelebat secuil curiga teringat cerita ilmu sesat. Materi di luar pelajaran mengaji masa kanak-kanak.

"Ayo Di, kita pulang!" Ahmad ternyata masih ada disampingku. Menggamit pundakku lembut. Aku manut saja. Tanah merah segera kami tinggalkan.

"Aku bisa memahami perasaanmu Di! Meskipun demikian kita harus yakin bahwa ini merupakan kersaning Gusti Allah. Bahwa takdir Allah tak mungkin kita tolak". Rupanya Ahmad menangkap kelebat curiga.

"Tapi darah itu Mad?"

"Masih ingat kan Di, kata Ustadz Amir saat kita sama-sama mengeja juz amma?"

Ahmad menyeretku ke masa lalu. Saat-saat indah di surau di seling cambukan rotan Ustadz Umar. Tidak pernah memukul benar kecuali demi keseriusan kami mengaji. Tapi peristiwa di liang lahat itu mneyita sebagian besar pusat kesadaranku.

"Kenapa musti ayahku? Kenapa… ah, tidak! Astaghfirullah!" kutahan kuat-kuat untuk tidak menyebut laku menyimpang. Meski hati kecil tatap meragu. Teringat kata Dokter Mono tiga orang sebelumnya mengidap muntaber. Muntah-muntah dan menggigil kedinginan. Ada yang nyaris gila. Lantas ayahku? Tak selazimnya mayat-mayat. Saat dimiringkan ada kucuran darah dari mulut.

"Kita tunggu berita dari Dokter Mono. Kita sebagai manusia sudah berikhtiar. Ternyata Allah menghendaki lain. Aku yakin itu penyakit yang wajar. Sudahlah Di! Yuk, kita jamaah Dhuhur!"

* * * *

Dokter Mono dating ke Dukuh Kopen tak sendirian. Alat-alat pengasapan sebagai buah tangan. Warga kopen diberi pengertian. Deretan kematian harus segera dihentikan. Syaratnya masyarakat harus memberi dukungan. Bukan sekdar mengiyakan. Tapi nyata-nyata sarang nyamuk harus ditiadakan. Tak ada kata terlambat, tidak mengenal batas kadaluwarsa. Zat malation diyakini bisa mencegah korban berjatuhan. Jentik-jentik nyamuk tak lagi bisa berkembang. Nyawa manusia terselamatkan. Endemic demam berdarah bisa dimusnahkan. Asal tak satu sudutpun terlewatkan. Harus serentak. Aku masih dengan sepenggal keraguan. Benarkah itu penyebab kematian ayah? Darah di liang lahat itu sangat sulit untuk kulupakan. Bukan maksudku meremehkan kepiawaian Dokter Mono. Tidak sama sekali. Ini di luar jangkauan ilmu kedokteran. Entah menurut Ustadz Amir.

Dokter Mono tak bosann-bosannya memberi pengertian. Kematian memang urusan Tuhan, tapi kita layak mengupayakan kesehatan. Usaha dulu, tawakal kemudian. Dokter juga para mantri puskesmas tak pernah lepas menyambangi kampung. Kebersihan lingkungan selalu digalakkan. Rumah gedhek atau gedongan tak ada pembedaan. Program ini meski berkelanjutan. Ustadz Amir mempertegas dalam khutbah jum'atan.

Warga Kopen tak ada tuntutan. Wajar tak banyak mengenal ilmu kesehatan. Memerah susu tetap jadi menu harian. Kematian empat warga bukanlah pertanda suram. Percaya akan usaha Dokter Mono dan kawan-kawan. Anak-anak kembali riang bermain di pelataran. Entah jelungan, mungkin pula jamuran, sambil menikmati purnama. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tapi aku tetap merasa kehilangan. Alhamdulillah tak lagi memendam bayangan permainan supranatural. Itu sekedar dongeng anak-anak, yang kini tak lagi layak. Tinggal potongan-potongan kenangan.

Tiba-tiba Kampung Kopen menjerit.

Kentongan tanda lelayu bertalu-talu. Tak ada berita sebelumnya orang sakit parah. Orang-orang penuh Tanya. Bergegas menjumpai kenyataan mendiang baru saja muntah-muntah dan mengeluh kedinginan. Konon beraknya campur darah. Tidak sampai berganti bulan belasan nyawa hilang. Dokter Mono geram malation ternyata tak juga mempan. Puskesmas kalang kabut tak mengerti makna kejadian. Jentik-jentik nyamuk sudah dipastikan tanpa menyisakan generasi. Saying kematian yang teramat membingungkan tak lagi terhindarkan. Merobek ketenangan Kopen. Bupati dan Dinkes gerah merasa kecolongan. Berita meluas secepat angin menjalar. Kopen menjadi berita besar. Saying berita suram.

Semuanya geram. Entah apa yang musti dilakukan. Dokter saja keheranan. Kopen jadi muram. Entah apa yang menyebabkan kejadian itu dating. Banyak desas-desus berseliweran. Kebetulan memang habis ada pertunjukan wayang. Praktis jadi salah satu sasaran kemarahan. Aku nelangsa emikirkan itu. Pastilah beban yang ditinggal jauh lebih berat dari apa yang pernah aku rasakan. Bukan tak sanggup melangsungkan upacara kematian. Tapi hati serasa disayat-sayat oleh ketidakpastian. Kejadian berlalu tanpa kejelasan. Ditindih tuduhan-tuduhan tanpa kenyataan.

"Ini gara-gara Pak Wondo. Kita kena pagebluk." Mbah Ranu marah-marah ketika malam-malam kami sedang jaga di gardu ronda.

"Pak Wondo? Apa yang telah dilakukannya terhadap kita? Sepertinya tak ada apapun." Lik Tugi tak mengerti arah pembicaraan Mbah Ranu sambil mengunyah kacang goreng.

"Coba perhatikan sebelum kematian si KArto itu, Pak Wondo kan baru saja nanggap wayang sewengi nutug. Anak-anak kita pada kepincut, tidak beringsut hingga ayam jago ramai bersahutan menyambut pagi menjelang…"

"Lantas hubungannya apa Mbah, wayang yang ditanggap pak Wondo dengan kematian bapakku?" potongku cepat. Aku tidak sreg dengan omongan mbah Ranu. Ayahku yang dipergunjingkan. Aku pernah menaruh syak pada seseorang. Tapi kini aku lebih meyakini scenario sang maha dhalang. Bukan dhalang yang diatnggap Pak Wondo itu. Dialah sang maha penentu segalanya.

"Oalah to Le! Kamu tto anaknya Ki Karto itu! Syukurlah kamu ada di sini, jadi kamupun harus tahu…" Mbah Ranu tiba-tiba diam. Seakan sengaja meneror perasaanku. Darahku memenuhi ubun-ubun.

"Sudahlah Mbah apa maksudnya, jangan membuat orang bingung begitu.: pinta Kang Bejo kemudian.

"Tak adakah kalian satu orangpun yang curiga?"

"Akh aku semakin tidak mengerti Mbah. Memangnya apa yang telah dilakukan oleh Pak Wondo. Ia menyembelih kambing dibubuhi racun begitu? Toh, masih banyak di antara kita yang tetap segar bugar. Tanda-tanda keracunan pun tidak ada." Lik Tugi menanggapi dengan guyon.

"Ya, benar kita telah diracuninya!"

Aku tersentak. Tidak mungkin. Itu mustahil. Saying kata-kata itu hanya berhenti di kerongkongan. Ustadz Amir yang sedari tadi diam nampak gelisah. Tak ada satupun di antara kami yang mempunyai bukti. Lik Tugi terbengong-bengong. Kang Bejo tak jadi menyantap kacang goreng.

"Kita sedang kena pagebluk karena Pak Wondo itu syaratnya kurang kalau tidak mau dikatakan menolak. Itulah ujud racun itu." Mbah Ranu kembali merobek ketidakpastian.

"Syarat? Syarat nopo to Mbah?"

"Oalah Le, kamu memang masih terlalu muda untuk mengerti, tapi bapakmu itu korban pertamanya. Kamu tentu tidak akan pernah lupa dari mulut…"

"Cukup Mbah! Jangan ungkit-ungkit itu lagi!" seketika aku berdiri tegak. Memotong kata-kata Mbah Ranu. Entah kekuatan dari mana hingga tata krama terhadap Mbah Ranu kuterjang. Aku seolah sedang membela diri atas vonis yang tak semestinya terhadap ayahku. Meram padam mukaku. Tak tahan saat-saat menegangkan di liang lahat itu diungkit-ungkit orang. Ustadz Umar memegang tanganku lembut memberikan ketenangan.

"Tapi ini kenyataan Le. Bapakmu jadi tumbal pertama atas laku lancing Pak Wondo dalam membuat sesaji. Mungkin ia sengaja menolak permintaan ki dalang. Rasa-rasanya kok mustahil kalau ki dalang sendiri yang berbuat senekat itu. Kalaupun lupa, bagaimana mungkin seorang dalang lupa pada pantangannya sendiri. Sejak dulu Pak Wondo kan orangnya begitu. Anti sesaji-sesajian."

"Tidak! Itu tidak benar! Kematian bapakku tidak ada sangkut pautnya dengan…"

"Le, kamu belum banyak tahu merah hitamnya hidup ini. Siapa saja bisa berbuat licik untuk keuntungan dirinya, keluarganya atau juga kelompoknya. Tak peduli nyawa orang lain jadi taruhannya. Manis di mulut belum tentu sesuai dengan kenyataan."

Omongan Mbah Ranu termakan juga oleh banyak orang. Seperti angin tak terbendung. Segera menyebar hingga ke setiap telinga penghuni kampung. Pembelaanku nyaris tak bermakna. Ustadz Amir belum juga mau ambil bagian. Dokter Mono pun tak sanggup membendung arus yang tak pasti.

Aku terkesiap. Astaghfirullah. Sejauh itukah? Ini sudah kelewatan. Tuhan dipersamakan dengan makhluk-makhluk yang takjelas juntrungannya begitu. Tuhan tidak membutuhkan sesajian. Ini tidak bisa dibiarkan. Kusampaikan keresahanku pada Ustadz Umar.

"Ada benarnya juga kata-kata Mbah Ranu!" komentar Ustadz Amir membuatku limbung. Nyaris tak percaya. Ustadz Amir orang yang paling aku percaya ternyata…

"Tapi Tadz?" aku jelas-jelas protes, tak habis mengerti mengapa Ustadz Amir kini telah berubah.

"Nanti duluu aku belum selesai."

"Apa maksudnya?"

"Tunggu besok jum'at!"

Aku tak puas. Ustadz Amir tetap tak mau melanjutkan. Desas-desus tetap terbawa angin. Entah apa yang terjadi pada Pak Wondo. Betapa pedihnya dianggap sebagi sumber petaka.

"Benar adanya kita sedang kena pagebluk. Bukan karena laku seseorang di antara kita. Kita semua telah sombong pada Tuhan. Merasa telah kaya dengan susu-susu yang kita perah tiap pagi. Padahal siapa yang mengalirkan susu itu? Pernahkah kita menunaikan sesuai dengan haknya? Ada sebagian yang harus kita sisihkan buat hati kita. Nyatanya tidak demikian. Tuhan murka kepada kita berupa pagebluk. Tuhan dalam mneimpakan pagebluk tidak hanya memilih orang per orang tapi semua warga. Entah dia itu kyai atau pencuri. Semua memiliki tanggung jawab yang sama. Pagebluk ini akan segera berlalu kalau kita bersedia kembali kepada Tuhan…" di khotbah jumat yang dijanjikan Ustadz Amir mencoba mengajak kembali pemahaman masyarakat tentang musibah.

Nah, lho jadi…

Purwokerto, Maret – April, 2002

(Dimuat dimajalah Husnul Khotimah Edisi September 2008)

Membaca Itu...!

Bagi alumni SD Negeri Gunungsari Kecamatan Cimahi kata-kata: Membaca itu…! Memiliki makna tersendiri yang senantiasa terkenang dan dapat dilanjutkan dengan penggalan kalimat yang berbeda. Penggalan kalimat itu merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seorang srikandi pendidikan di Desa Gunungsari. Penggalan kalimat yang bukan sekedar mengeluarkan kata-kata akan tetapi penggalan kalimat dengan tujuan menggugah dan memotivasi siswa didiknya untuk senantiasa maju, terutama bagi yang memang perkembangan kemampuan membacanya terlambat bila dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.

Menurut ibu yang telah 40 tahun mengabdi sebagai PNS di Sekolah Dasar ini, membaca itu indah. Filosofinya dengan membaca kita bisa mengenal dunia luar tanpa harus pergi. Semuanya terlihat jelas. Kalau tidak bisa membaca bagaimana bisa mengetahui dunia luar pergi tidak membaca juga tidak. Dengan membaca itulah gudang ilmu bisa dibuka.

Alumni SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Kuningan ini mengemban amanah sebagai guru PNS sejak tahun 1967. pertama kali di tempatkan di SDN Cikandang Kecamatan Luragung. Setahun kemudian dipindahkan ke SDN Gunungsari (waktu itu masih termasuk wilayah Kecamatan Luragung, sekarang telah berdiri sendiri menjadi Kecamatan Cimahi). Pertama kali ketika mengajar di kelas rasanya seperti mimpi, apalagi saat anak-anak memanggilnya ibu. Benarkah dirinya kini telah menjadi seorang ibu (guru, red). Bahkan sebelumnya sama sekali tidak tahu dimana letak Desa Gunungsari dan bagaimana kondisi geografi dan masyarakatnya. Belum lagi seolah-seolah menjadi tontonan karena satu-satunya guru perempuan dan juga seorang pendatang. Kala itu seorang guru perempuan memakai pakaian tidak sebagaimana yang dikenakan sekarang. Guru putri berarti memakai kain, kebaya dan bersanggul.

Tingkat kesadaran masyarakat saat itu untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah. Umumnya anak-anak kecil menggembala kerbau sebelum mereka masuk sekolah, sehingga ketika sekolah sudah besar-besar. Adapun kondisi sekolahnya masih lantai tanah di kelilingi sawah dan sungai yang kadang kebanjiran dan becek. Maka tak aneh jika baik siswa maupun murid kalau belajar ceker ayam saja (tidak bersepatu, red).

Ibu guru yang ketika pertama kali menjadi guru adalah satu-satunya guru perempuan ini sangat mencintai pendidikan. Rasa cintanya itu diwujudkan dalam kesehariannya dengan penuh rasa tanggung jawab karena beliau sadar betul bahwa program sehebat apapun jika tanpa dilandasi keikhlasan dan rasa tanggung jawab maka tidak akan berhasil. Lalu jika demikian apa yang bias kita berikan kepada masyarakat. Mungkin akan terasa begitu muluk, sangat idealis dijaman yang materialis ini. Tetapi ada bukti nyata yang tidak mungkin dikesampingkan begitu saja.

Ibu dari empat orang anak ini dengan penuh kesabaran membimbing murid-muridnya. Jika ada yang belum bisa membaca maka sang murid didudukkan tidak sebagaimana lazimnya siswa akan tetapi membelakangi papan tulis di depan teman-temannya. Cara ini bukan suatu bentuk hukuman, justru cara inilah bimbingan yang sukses mengantarkan siswa-siswinya memperoleh pengetahuan. Anak-anak yang belum bisa membaca ini dibimbing satu-satu sampai benar-benar bisa baru boleh kembali duduk seperti teman-temannya. Huruf-huruf yang paling sulit dikenali oleh siswa pun dicarikan jalan keluarnya agar tak menjadikan masalah. Misalnya kemiripan huruf p dan b disiasati dengan menjelaskan bahwa p itu ada perutnya dan b itu ada pantatnya. Dengan cara demikian ternyata lebih mudah dipahami sebagaimana sesuai dengan tingkat pemahaman anak-anak.

Kepeduliannya terhadap anak-anak yang terlambat menguasai kemampuan membaca ini tidak pupus hanya karena jabatan. Ketika menjabat sebagai kepala sekolah beliau meminta kepada semua guru kelas untuk mengirimkan siswa-siswinya yang belum bisa membaca ke kantor kepala sekolah. Beliau sendiri yang membimbingnya. Baru kalau sudah lancar dikembalikan ke kelas masing-masing.

Untuk menjadi seorang guru yang penuh dengan dedikasi bukanlah pekerjaan yang instan. Bahkan menurut orangtuanya Tin Suhartini kecil memang telah bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Maka meskipun kemudian ditempatkan di daerah yang secara geografi sangat berat tidak membuatnya surut langkah apalagi sampai meninggalkan gelanggang. Pesan bapaknya untuk mampu menjadi srikandi dalam dunia pendidikan merupakan salah satu motivasi untuk tetap bertahan dan bahkan kemudian menorehkan prestasi.

Kondisi geografis Desa Gunungsari era tahun 1960-an akhir sangat jauh berbeda dengan sekarang, bahkan nyaris tak terbayangkan kalau kala itu jalan penghubung dengan desa yang lain adalah jalan setapak yang banyak diselubungi oleh ilalang yang tingginya melebihi orang dewasa. Disamping itu kondisi wilayahnya yang seringkali becek sangat memungkinkan pendatang tidak betah untuk menetap di desa tersebut. Tidak untuk ibu..., bahkan beliau menikah dengan lelaki setempat (Agustus 1968) yang juga teman sejawat di SD Gunungsari.

Jika ada acara di kota kecamatan (waktu itu masih desa Gunungsari masih termasuk wilayah kecamatan Luragung) baik untuk mengikuti perlombaan atau penataran guru, jam 03.00 sudah berangkat jalan kaki ditemani obor dari bambu. Pakaian yang akan digunakan dibungkus kertas kemudian di suhun (ditaruh di atas kepala, red). Sampai di Cileya kaki dibasuh dan ganti pakaian.

Jika akan mengikuti perlombaan di Luragung maka suami makan tidak enak, tidak bisa tidur karena jam 24.00 keliling kampung membangunkan anak-anak untuk siap-siap berangkat, agar jam 03.00 sudah benar-benar berangkat.

Perjuangan itu tidak ada yang sia-sia. Terbukti hampir setiap perlombaan tingkat kecamatan selalu diperhitungkan. Bidang olahraga dan kesenian sering langganan masuk tiga besar. Bahkan bulu tangkis dan tenis meja pernah sampai ke tingkat propinsi. Kunci utamanya adalah kebersamaan dan pemberian motivasi yang berkesinambungan.

Masa-masa paling berat yang dirasakan oleh istri dari Kuswadi ini adalah saat-saat pensiun. Selama tiga bulan ada perasaan berdosa telah meninggalkan tugas. Padahal telah jelas menerima SK Pensiun. Akan tetapi rasa tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak masih sangat membekas, sehingga ketika melihat anak-anak masuk sekolah sedangkan dirinya masih berada di rumah merasa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang sebenarnya sangat wajar bagi yang sudah pensiun untuk tinggal di rumah.

Tahun 2002 kondisi fisik gedung sekolah sangat mengkhawatirkan. Sebagai kepala sekolah Tin Surihatin melakukan konsultasi dengan Komite Sekolah, disepakati sebelum mendapatkan bantuan gedung ditopang dulu dengan menggunakan bambu. Dengan berbagai macam usaha yang dilakukan pada tahun 2003 mendapatkan dana hibah dari Belanda sebesar seratus juta rupiah. Proyek tersebut dibawah pengawasan langsung pihak pemilik dana dengan pengawasan yang sangat ketat. Pengawas tidak mau menerima uang sepeserpun, kalau memang ada penyimpangan dan perlu ada yang dibongkar maka harus dibongkar. Ibu kita yang satu ini dapat menyelesaikan proyek dengan baik sehingga mendapatkan acungan jempol dan dihadiahi sebuah kalkulator serta beberapa uang.

Kekurangan dua ruang yang tadinya oleh Kepala Dinas dikatakan jangan dulu mengajukan tetapi melihat sekolah lain mengusulkan terus kemudian pada tahun 2006 memperoleh imbal swadaya Rp 75 juta. Maka selesailah sekolah tersebut direnovasi. Pensiun tanpa meninggalkan beban kelas yang belum tuntas pembangunannya.

(materi profil di Majalah Husnul Khotimah Edisi September 2008)
Wawancara oleh Afriadi, Sunarno, dan Alfarobi. Edit menjadi naskah oleh Sunarno

Rabu, 10 September 2008

Kenangan di Kampus Biologi UNSOED

Saya memang telah lama meninggalkan kampus biru (bekas ladang kangkung?). sejak tahun 2005 Purwokerto tak lagi menjadi tempat mendulang rizki (di MA Al Ikhsan Kedungbanteng, SKB samping kampus pusat dan Misykah Komputer, pernah juga beberapa tulisan mampir ke Radar Banyumas, Reformasi, Annida). Tepatnya 1 Januari 2005 saya hijrah ke Kuningan dan lagi-lagi tak berkutik ketika dihadapkan pada kenyataan pesantren memerlukan media komunikasi entah bernama buletin, majalah atau apalah yang sejenis. Tahun 2005 di daulat menjadi pembina Buletin Akyas, hingga kemudian sebagian lebur menjadi majalah Husnul Khotimah. Benar-benar tak ada pilihan lain, saya turut membidani lahirnya majalah husnul khotimah. hingga saat ini tinggal 2 orang pendiri yang masih tetap setia dengan media ini. satu orang teman yang sekarang pemrednya adalah jebolan Sabili.

Sesekali saya mengulik-ulik internet. Kesasar ke mana-mana. Dan ternyata alhamdulillah ada manfaatnya juga bisa bertemu isroi, pamenang, Muhamat si Memet Pak Dosen, Edi S yang setia dengan tanah kelahirannya. juga teman-teman yang mungkin belum sempat ada kontak.

Kepada Isroi saya minta ijin ikut nimbrung masang kenang-kenangan bersama teman-teman di kampus dulu (Biologi Angkatan 93). Yang oleh Si Roy diberi tajuk TEmbang Kenangan

Jumat, 05 September 2008

Buku Forum Limabelas Penulis

Fiksi Limabelas Penulis

Forum Lingkar Pena

Siapa tak mengenal Nabi Yusuf? Lelaki tertampan di seluruh jagad? Lelaki yang pesonanya melegenda hingga ujung zaman? Jika semua orang kemudian mengatakan, “Kau mirip Nabi Yusuf,” maka sebentang taman bunga akan menghiasi ruang hati kita. Jika para wanita pun ternganga menatap kita, dan desahnya pun terlontar, “Kau memang mirip Nabi Yusuf,” maka dari ujung-ujung tangan kita, akan tumbuh sayap yang membuat kita mampou terbang menyusuri awan-awan…

“Kata orang Aku Mirip Nabi Yusuf” adalah satu dari 15 cerpen tulisan Fiksi Limabelas Penulis, yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena jateng. Sebuah antologi yang sarat nutrisi jiwa. Idealisme, harapan, ketakutan… serta cinta, tergambar dari lincahnya para penulis menggoreskan penanya.

Kedalaman perenungan Izzatul Jannah, dipadukan dengan ketajaman mata hati Titaq Mutaqwiati dan Afifah Afra, diramu keindahan bahasa Sakti Wibowo serta MN Furfon. Semakin menjadi rancak ketika satir parody NasSirun PurwOkartun, Kresna Pati dan Deasylawati digabungkan. Maka, dengan manisnya gula-gula Jazhimah Al Muhyi, Prana Perdana, Rianna Wati, A Adenata, Sunarno, Aveus Har serta Nashita Zayn, antologi ini sungguh bukan antologi biasa.

Forum Lingkar Pena. Konon, karya-karya mereka seragam, konon mereka hanya menawarkan nuansa hitam dan putih sehingga membosankan, konon, konon, begitualh anggapan-anggapan senada yang senantiasa diulang-ulang sehingga nyaris membentuk sebuah kesimpulan. Nah, Forum Lingkar Pena Jawa Tengah kali ini memberikan jawaban dalam bentuk yang paling konkrit, yakni dengan sekumpulan karya yang tidak ditaburi dakwah verbal yang konon menjadi cirri khasnya… (Joni Ariadinata, redaktur majalah sastra Horison).

artikel terkait silahkan klik disini

Cerpenku

RUMPUN PADI

Sastro memandangi perbukitan dengan perasaan cemas. Hujan sejak sore tadi serasa tak mau bersahabat. Padahal tengah malam telah lewat. Hujan begitu lebat, kadang ditingkahi suara gelegar petir menyambar-nyambar membelah angkasa memekakkan telinga dengan loncatan bunga api listrik yang menyilaukan mata.

Di lereng bukit sana Sastro menggantungkan hidup. Sepetak sawah penuh tangkai padi yang tadinya menghijau subur telah mulai menampakkan hasilnya entah kini apa jadinya. Angin keras menampar jendela berderak. Pepohonan di luar menggigil tak lagi tegak, bahkan ada beberapa yang tumbang. Air hujan menyusup lewat sela-sela dinding bambu yang memang sudah banyak bolongnya di sana sini, genting yang tak lagi mampu menampung luapan air hujan yang juga sudah tak ada lagi bentuknya. Malam berselimutkan gigil.

Sementara itu ketiga anaknya merapat di dipan pucat kecemasan, ketakutan mendengar gelegar petir yang tak seperti biasanya. Alam benar-benar sedang tak bersahabat. Istrinya menemani dalam ketermanguan.

"Anak-anak, sekarang istirahatlah, usahakan bisa tidur nyenyak, besok pagi-pagi sekali kita harus bergegas." Sastro berkata kepada ketiga anaknya lebih nampak sebagai gumaman.

Tak ada satupun anak-anak itu yang menjawab kecuali kian merapatkan selimut usang masih dalam kecemasan. Apa yang bisa diberikan pada anak istrinya bila ternyata esok paginya tak lagi ditemui rumpun padi yang menghijau itu. Padahal jika tak ada musibah maka bulan depan padi itu telah menguning.

Tak biasanya musim begitu ganas. Ia berharap dalam hati semoga padinya masih terselamatkan. Meski tidak semunay. Tapi barang sedikit cukup lumayan untuk diberikan pada anak istrinya. Karena dari situlah satu-satunya sumber penghasilan. Ia berusaha melongok jauh kea rah perbukitan dengan harapan dapat melihat petak sawahnya. Sia-sia saja. Hujan lebat serta angin malam menghalangi pandangan. Malam begitu pekat. Batinnya tetap saja lekat pada sepetak sawah.

Sat-satunya yang bisa ia lakukan hanyalh memohon kepada Tuhan untuk melimpahkan kasih saying-Nya. Hujan segera reda. Padi tidak hancur oleh ganasnya alam.

* * *

Sastro bergegas menapaki pematang yang sebenarnya tidaklah begitu lebar. Tapi seolah berjalan di jalan raya. Sastro mempercepat langkah dengan nafas yang kian memburu. Diikuti dengan berlari-lari kecil, kadang melompat menghindari kubangan air, oleh kedua anak lelakinya yang belumlah begitu dewasa. Mentari timur belum nampak benar. Belum jelas beda antara benang merah dengan benang hitam. Sastro berkelebat bagai bayangan. Hatinya telah lekat pad arumpun padi miliknya. Ingin segera sampai ke petak sawah.

"Sogol, cepat Bantu bapak, kalau air ini tidak dibuang hancur padi kita"

Yang dipanggil Sogol tanpa menjawab segera turut serta membuat saluran dengan memotong pematang. Air segera mengalir cukup deras. Tadinya air rata dengan pematang, sepertiga tanaman padi terendam dalam genangan hujan. Adiknya turut serta membantu.

Air segera mengalir dengan kecepatan tinggi. Berangsur-angsur genangan surut, diikuti berkurangnya kecepatan aliran air. Sastro dibantu kedua anaknya berusaha memperlancar aliran air supaya genangan segera habis. Tanpa mempedulikan waktu yang kian beranjak ketiganya bekerja keras dengan harapan padi miliknya dapat terselamatkan. Bahkan mereka tidak menyadari sedikitpun bila hari itu matahari tak juga hadir. Tertutup awan tebal. Keringat mereka tetap saja bercucuran.

"Pak, di atas bukit itu..!" Sogol berteriak tak kesampaian. Dilihatnya puncak bukit bukan lagi hanya berawan tebal. Hujan mulai menderas. Pepohonan nampak penuh gigil. Dari kejauhan nampak adanya lontaran-lontaran yang tak begitu jelas seperti menuju perkampungan di mana salah satu rumah yang ada adalah milik mereka.

"Sudah, jangan berkeinginan untuk bermain di atas bukit. Sekarang Bantu bapak memberesi tanggul ini."

"Pak..!"

"Jangan banyak omong. Jika tak segera kita selesaikan hancur padi kita tergenang semua. Selama tiga bulan kita tidak makan apa-apa."

Tiba-tiba petir menyambar-nyambar penuh gelegar. Hujan segera mengguyur tubuh-tubuh itu tanpa peringatan. Air sungai sekitar limaratusan meter dari sawah mereka segera meluap.

"Pak, aku harus pulang menyelamatkan mak, sepertinya…" Sogol tanpa menyelesaikan kata-katanya segera melesat meninggalkan adik dan bapaknya. Sastro tercekat segera menyadari keadaan. Sogol kian mempercepat langkah. Tak lagi mempedulikan bapak dan adiknya. Sementara itu Sastro segera menyusul demi diingatnya sungai yang harus dilewati cukup deras arusnya. Sayang Satro terlambat. Sogol telah mencebur ke sungai begitu bapaknya tiba di bibir sungai.

"Sogol! Jangan teruskan! Kembali.."

Sia-sia Sastro memanggil-manggil. Sogol nekad menyeberang. Sekonyong-konyong dari hulu bah membesar kian pekat. Meluap hingga sungai tak mampu lagi menampungnya. Sawah-sawah kembali tergenangi tidak hanya oleh air tapi Lumpur pekat kecoklatan dan kerikil-kerikil banyak yang tersangkut. Praktis rumpun padi yang tersisa tak berbentuk lagi.

Sogol tersentak sedang berada di tengah-tengah. Kembali tak mungkin. Melanjutkan lebih susah. Tiba-tiba sebatang kayu menyodok tubuh Sogol hingga terjatuh. Sogol berusaha menggapai-gapai. Sastro tak mampu berbuat apa-apa. Terlalu banyak sudah air bah masuk mulut Sogol. Dan hilang.

"Sogol..! Sogol..di mana kau nak?"

Berulang-ulang Sastro berteriak memanggil-manggil. Ditunggunya terus hingga hujan mereda. Dipanggilnya terus hingga suara serak hilang ditelan suara arus air yang tak jauh lebih keras. Ditunggunya sampai hari beranjak malam ditemani anaknya yang kecil hingga bertemu pagi kembali. Hingga sungai benar-benar surut Sastro baru mneyadari bahwa ia telah kehilangan anaknya untuk selama-lamanya. Dengan langkah gontai anaknya yang tersisa digendong pulang. Sesampai di perkampungan Sastro hanya tinggal menemui puing-puing rumah yang telah hancur ditelan bah. Sisa-sisa air masih banyak menggenang.

Kini Sastro tidak sekedar kehilangan rumpun padi yang seharusnya meranum. Hari depannya telah hancur. Anak lelaki tertuanya hilang ditelan sungai yang mengganas. Tidak hanya itu istri dan anak bungsunya yang belum genap empat tahun tak jelas kemana. Kini hanya tinggal seorang anak. Tanpa rumah. Tanpa rumpun padi. Tanpa seorang istri.

Purwokerto, 27 Januari 2000

(Pernah dimuat di Radar Banyumas)