Minggu, 12 Oktober 2008

TAK ADA LAGI CINTA

Oleh: Sunarno

Lelaki itu berlari dan terus berlari. Mengejar bayang sendiri. Menapaki jejak-jejak kabut yang kian mengelam. Tersaruk jatuh bangun, menciumi bau anyir darah sendiri. Belantara kabut menyesak dada diterjang tanpa perhitungan. Luka memar telah menyatu bersama nyeri kepedihan hati. Ketika ditemui kampung tak lagi punya nyawa langkahnya terhenti. Tercekat oleh kabut tebal yang tak lagi mungkin ditembus. Sesobek kesadaran mengendap mencari ingatan tentang sepenggal berita pagi di kota Wonosobo sehari yang lalu.

Berita pagi sekilas mengutip semburan asap tebal setelah subuh jatuh. Satu bagian ceruk sebelah barat Pegunungan Dieng menggelepar. Jiwa melayang tak terhitung jumlahnya setelah tanpa sengaja menghisap asap tebal bertuba. Belum juga sempat menikmati segarnya oksigen pagi hari di ladang atau sekedar duduk di atas jengkok berdiang di depan anglo menghangatkan badan sambil meneguk segelas kopi panas diseling jagung rebus panenan sendiri. Bumi di atas pusar orang dewasa adalah lautan racun yang siap membius apa saja yang bernafas. Manusia atau ternak tak ada diskriminasi. Matahari tak sempat menampakkan diri.

Racun itu tiba-tiba lahir dari rahim bumi tepat di halaman Sekolah Dasar Inpres. Ceruk Dieng dengan ketinggian 1800 m dpl bumi rekah membentuk cekungan kawah. Tak ada lembaga pemerintah yang telah sempat memprediksikan. Tidak juga lembaga pemantau aktivitas gunung berapi. Mungkin Dieng dianggap telah mati. Gugusan kawah selama ini justru jadi sumber tontonan murah dan pendapatan daerah yang efektif. Asap belerang meliuk-liuk tanpa tuba justru menghangatkan penuh pesona. Mengundang banyak orang-orang bule untuk menghirupnya.

Lelaki itu meraung keras. Tak ada lagi yang bisa dibanggakan. Anak-anak, istri, ladang yang hampir panen tertelan semburan racun. Tak habis mengutuk diri mengapa harus pergi meninggalkan mereka. Mengapa musti turun ke kota, hanya membunuh waktu tidak penting benar. Kebutuhan pupuk untuk tanaman sayuran telah tak ada. Obat-obatan serangga belum saatnya dibeli. Hanya benar-benar sekedar membunuh waktu.

"Maafkan aku anakku. Maafkan aku istriku!"

Kabut menggeliat. Pagi merangkak lambat.

Lelaki itu kembali berlari. Berpacu meninggalkan kampungnya yang sepi. Meninggalkan jejak-jejak kenangan yang takkan mungkin terlupakan. Air matanya telah menyusut kering. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai berkibar menentang angin. Sisa-sisa asap pekat masih saling menelikung. Nafasnya tersangkut di tenggorokan. Tak mau ambil peduli terus saja berlari dan terus berlari. Lembah ngarai dijejaki. Jatuh bangun tak jadi rintangan yang cukup berarti. Belasan kilometer jarak terlampaui. Nafasnya kini benar-benar hampir putus. Dadanya menyesak menahan nyeri. Debu tebal membungkus badan, menyatu dengan keringat dingin menciptakan lapisan daki yang kian mengental.

Matahari tersamar menerobos kabut.

Di tanah datar tiba-tiba ia menjatuhkan diri, tepat di depan sebuah pemakaman tua. Bersimpuh, tidak bergerak, juga tidak menggumam. Ia hanya menatap lurus pada deretan nisan yang mengabut. Tak berkedip. Ingin menembus hingga ke kedalaman makam. Pelan-pelan pipinya menghangat. Ada buliran bening merayap. Sekonyong-konyong lelaki itu meraung keras. Mencakar-cakar tubuh sendiri. Teringat akan anak istrinya yang ditelan asap. Berkelebat bayangan bagaimana anak istrinya berjuang keras mempertahankan nafas hingga akhirnya kaku tak berdaya. Sesak penuh racun. Tak sempat menyelamatkan diri. Tangan menggapai-gapai dalam kehampaan kemudian lunglai tanpa daya.

"Maafkan aku anakku, istriku!"

Lelaki itu segera menguasai diri kembali. Ragu-ragu hendak masuk atau tetap saja di luar. Angin mempermainkan rambutnya. Berkibar kesana-kemari membawa pengap bau tubuh sendiri. Anyir darah mengalir dari tulang pipi. Diusapnya lambat-lambat. Telah mengental bercampur daki yang kian menebal. Deretan kabut menari-nari membelai setiap lekuk tubuh pegunungan. Menampar pepohonan, juga deretan batu nisan, membelai basah rerumputan. Menciptakan sebentuk nyeri di pipi lelaki itu. Rumah di seberang jalan tak ada tanda-tanda kehidupan. Di jalanan tak ada sesuatupun yang melintas. Lengang. Entah yang tersisa menyambung nafas ke mana. Tak ada jejak yang mampu menjelaskannya.

Sekali lagi lelaki itu meraung keras.

"Istriku! Anakku! Kalian dimana..??"

Tak ada jejak-jejak yang mungkin dilacak. Tak ada tanda-tanda yang bisa dibaca. Hanya gema suaranya sendiri yang menyelinap ke tulang pendengaran. Selebihnya kabut yang kian memekat.

Mata lelaki itu menyapu sekeliling. Seluruh batu nisan diamati lekat-lekat. Mondar-mandir tak berbilang. Tiap pahatan nama tak luput dari perhatian. Tak satupun ditemukan guratan nama yang teramat dikenalnya.

Isak tangis tak tertahankan. Berkelebat secepat kilat senyum manis anak semata wayang. Mengajaknya bermain berkejaran di belakang rumah. Atau merengek meminta dibelikan mainan yang bisa berbicara. Canda tawanya masih memenuhi ruang kepala lelaki itu.

Masih terngiang kata-kata istrinya saat dipelaminan. Katanya ingin mempunyai lima anak laki-laki semua. Mirip para kesatria pewaris Astina.

"Biar nanti membantu bapaknya mengurus ladang."

"Yang membantumu di dapur?"

"Tak usah dipikirkan!"

Nyatanya baru dikaruniai seorang anak kini harus terpisahkan.

****

Langit memuntahkan awan.

Lelaki itu menantang langit. Menunjuk lurus ke gumpalan awan. Tak dipedulikan rintik-rintik mulai membasahi wajahnya, membasahi kepalanya, seluruh tubuhnya.

“Tuhan, harus kemanakah kucari anak istriku!” di sela isaknya yang kembali pecah lelaki itu melirih gumam sembari terduduk lemah.

Ditimang kembali segala ingatannya. Terseok tersaruk jatuh bangun demi memuasi keinginan bertemu orang-orang tercinta. Hilang takut, ngeri, perih, pedih dan juga logika. Menerobos kabut, menerjang lebatnya ilalang serta duri-duri tak dipedulikan. Basah kuyup oleh guyuran kabut, keringat dan kemudian renai gerimis telah menciptakan gigil yang kadang juga igauan. Masih juga tak ambil peduli.

Sepercik ingatannya menghadirkan kesadaran yang justru kemudian terasa ada keanehan pada apa yang telah dilakukannya. Tujuan mencari anak istri justru ke arah yang semakin menjauhi kampung halaman. Menuju pemakaman entah yang sama sekali tak dikenalinya.

Kesadaran yang hanya sepercik itu membulatkan kembali tekad lelaki itu untuk melacak jejak-jejak kelamnya kabut. Mengayun langkah kembali meski perih telah menggerogoti tubuhnya.

Lelaki itu tak mau terlambat yang kedua kali. Berlari dan kembali berlari. Menerobos gerimis, membelah semak belukar tak lagi ambil peduli. Entah jalan yang telah dilalui atau belum tak lagi dipertimbangkan. Hanya kali ini sedikit lebih hati-hati jangan sampai salah lagi memilih jalan.

Rintik-rintik itu kian deras. Kian keras. Tak dipedulikan gigil membuatnya limbung. Angin mendesir menambah hujan kian nakal, menampar-nampar bebatuan dan juga rerumputan. Hujan kian deras, angin menampar kian keras.

Lelaki itu tak lagi mampu mengenali sekeliling. Tamparan angin tersekat tak sampai masuk ke telinganya. Jatuhnya awan yang menggedor-gedor tiap jengkal dinding-dinding bangunan bahkan tubuhnya sendiri itu tak lagi terekam oleh ujung-ujung syarafnya. Arus besar menghanyutkan setiap jengkal kesadaran lelaki itu.

Purwokerto – Kuningan, 2001/2008 (di muat di Majalah Husnul Khotimah Edisi 14)