Sabtu, 30 Agustus 2008

PROFESOR SOSIOLOGI ANTROPOLOGI

Oleh: Sunarno

Abdullah Ali yang pakar sosiologi antropologi ini merupakan putra Asli Cirebon kelahiran 27 Nopember 1949. Beliau mengenyam pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi selalu di sekolah agama masih di Cirebon. Baru ketika mengikuti program master dan doctoral mencicipi universitas umum. Program Magister dijalaninya di Universitas Indonesia bersama tiga orang rekannya sebagai dosen IAIN dengan konsentrasi ilmu sosiologi. Universitas Padjadjaran merupakan tempat berikutnya menimba ilmu sosiologi antropologi dalam program doktoral.

Penulis buku tradisi kliwonan gunungjati model wisata religi kabupaten cirebon ini mengawali karir di dunia pendidikan sebagai dosen honorer di almamaternya STAIN Cirebon Fakultas Tarbiyah, resmi sebagai PNS pada tahun 1980. Pada saat ini di samping mengabdi di STAIN masih turut serta membesarkan beberapa perguruan tinggi di Cirebon sebagai dosen luar biasa.

Satu-satunya pakar Sosiologi antropologi se Wilayah 3 Ciebon ini telah aktif sejak usia muda di berbagai organisasi. Mulai dari organisasi yang terkait dengan dunia pendidikan (PII, HMI, KAPPI, GUPPI, OSIS) hingga yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dunia pendidikan (ICMI, Forum Lintas Pelaku) tidak ketinggalan juga pernah menjabat sebagai ketua MUI kota Cirebon.

Lelaki yang amat dekat dengan anak yatim ini telah menulis lebih dari sepuluh judul buku, yang sebagian besar digunakan sebagai bahan perkuliahan. Di sela-sela kesibukan perkuliahan, sebagai seorang dosen tentunya tak melupakan tridarma perguruan tinggi yang salah satunya adalah melakukan penelitian. Penelitoan-penelitian yang beliau lakukan tentu saja seputar keilmuannya dalam bidang sosiologi antropologi. Wilayah penelitiannya tidak hanya sesempit Kabupaten atau Wilayah III Cirebon saja, akan tetapi telah merambah hingga Blora dan kampung Badui, tentu saja untuk mengamalkan ilmunya dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.

Profesor Abdullah Ali memiliki keluarga besar yang sebenarnya. Beristrikan gadis dari Cilimus yang kakak ipar Ustadz Jajang Sopandi ini dikaruniai lima orang putra dan lima orang putri. Tidak hanya itu, Profesor Ali sangat dekat dengan anak-anak yatim. Kedekatan itu terjalin semenjak masih dibangku kuliah. Bagaimana hal itu bisa terjadi ketika dikonfirmasi beliau sendiri mengatakan tidak mengerti mengapa bisa demikian, ya inilah perjalanan hidup, begitu selorohnya.

Kisah kedekatan dengan anak yatim berawal ketika kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, beliau tinggal di masjid Al Abrar, komplek Slipi Blok K. Di masjid tersebut mengajarkan membaca Al Qur’an kepada anak-anak sekitar, salah satunya adalah Ferri Mursidan Baldan, anggota Fraksi Golkar di DPR RI. Suatu saat ada seorang bapak yang meninggal dipangkuan Abdullah Ali, dengan meninggalkan seorang anak kelas lima SD. Saat menjelang meninggal bapak tersebut sempat berwasiat agar Pak Abdullah Ali mau dititipi anaknya untuyk dikemudian hari. Begitu anak itu tamat SD, langsung dia membawa ijazah menyerahkan ke Abdullah Ali bahkan juga menyerahkan kehidupan selanjutnya. Dengan persetujuan sang istri dikirimlah anak tersebut ke Cilimus sebagai anak angkat. Sejak saat itu sepertinya Allah selalu memberi jalan agar Abdullah Ali selalu lekat dengan anak-anak yatim. Hingga saat ini jumlah anak yatim yang telah mengenyam kehidupan bersama Abdullah Ali melebihi jumlah anak kandungnya sendiri.

Keistimewaannya adalah bagaimana hal demikian bisa berlangsung lama, tanpa disertai dengan pernik-pernik masalah yang pelik terutama dari pihak keluarga. Benar-benar istimewa karena anak kandung maupun anak angkat (anak yatim) semua saling menerima, saling menghormati sehingga tidak ada rasa iri di pihak manapun, seakan-akan semuanya adalah anak kandung.

Dalam hal mendidik anak Abdullah Ali memiliki cara tersendiri, sebuah cara yang membuat orang lain berdecak kagum dan sejalan dengan disiplin ilmunya dibidang sosiologi antropologi. Kesepuluh anaknya semua mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Dua anak tertua (laki-laki) kini bermukim di Australia. Dari kesepuluh anak tersebut tersebar ke beberapa pesantren pilihan yaitu Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan, Assalam Surakarta, Gontor putra dan putri Ponorogo, Husnul Khotimah Kuningan dan Kemuning Cirebon.

Abdullah Ali tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk masuk pondok pesantren. Melalui pendekatan persuasif dengan banyak memberikan motivasi mendorong anak-anaknya menentukan pilihannya sendiri. Cara memotivasinya sangat sederhana. Abdullah Ali sekeluarga biasa melakukan wisata bersama anak-anaknya waktu ada libur panjang. Saat wisata tersebut selalu disisipkan kunjungan ke salah pesantren yang nantinya diharapkan ada anaknya yang tertarik. Wujud kunjungannya pun sangat sederhana. Waktu shalat, sholatnya di pondok pesantren yang dimaksud. Dari situlah kemudian anak-anak tertarik untuk nyantri.

Tahun 1987 mau dicalonkan sebagai Pudek (Pembantu Dekan) III, saat diusulkan ke rektor di Bandung, dalam waktu yang bersamaan ada orang tua yang ingin duduk di kursi itu, akhirnya dia minta kepada rektor, entah caranya bagaimana, Abdullah Ali di panggil ke Bandung, “Abdullah Ali anda masih muda, harapan masih panjang, ini ada bagus dari UI, itu tawaran pertama untuk seluruh dosen IAIN se-Indonesia kerjasama dengan Depag, kalau ini tidak diambil kita menyia-nyiakan kesempatan dan hanya anda yang bisa” begitulah kira-kira yang diucapkan rektor. Setelah didiskusikan bersama istri dan istikharah, hasilnya, 50-50 sama beratnya antara jabatan dan studi. Akhirnya, sudahlah ikut test saja dulu. Peserta 120 yang ikut ujian hanya diterima 20 orang saja. Dari 14 IAIN yang diterima hanya 3 orang. Pengumumannya dikirim ke Cilimus. Abdullah Ali langsung sujud syukur, dan istikharah lagi bersama istri ternyata dorongan untuk belajar naik menjadi 75%, untuk jabatan tinggal 25%. Akhirnya memilih melanjutkan studi.

Jadi mengapa Abdullah Ali belajar lagi? Belum ada kewajiban waktu itu, karena dosen IAIN wajib S2, tahun 1995, sebelumnya belum ada kewajiban. Resikonya sudah jelas, kalau duduk dapat duit, kalau sekolah keluar duit, buang duit, walaupun disubsidi dari Departemen Agama tapi tetap keluar duit untuk transport dan kontrakan. Dari situlah kemudian mendapat pandangan ilmu yang sangat berharga, dan karena itu pandangan-pandangan Abdullah Ali tentang agama selalu dilapisi dengan wawasan antropologi.

Bahwa pada dasarnya setiap manusia punya kepercayaan sendiri, punya knowledge sendiri, punya norma sendiri, punya value sendiri, dan itu kita tidak bisa memaksakan kehendak, sebab itu antropolog orang yang paling toleran didalam kepercayaan baik antar agama ataupun intern agama, itu antara lain wawasan yang tumbuh dari kajian antropologi.

Begitu wisuda selesai tahun 1991, setelah itu ada edaran dari Menteri, seluruh dosen IAIN untuk mempersiapkan pendidikan selanjutnya. waktu itu ada S3 tanpa harus tesis terlebih dahulu, enak sekali sekolah satu tahun langsung doktor tanpa S2 lagi. Tiba-tiba ada tawaran dari UNPAD, sebagai satu-satunya ahli antropologi di Cirebon, maka siap berangkat. Mei 1998 mendaftarkan diri. Setelah di UNPAD mendapatkan kenyataan bahwa antara sosiologi dan antropologi itu adalah kajian ibarat satu mata uang, kiri kanannya berbeda tapi hakikatnya satu. Sosiologi itu mempelarajari masyarakatnya, antropologi itu mempelajari kebudayaannya. Tidak ada masyarakat yang tidak berkebudayaan sekecil apapun pasti ada budaya masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat.

(publikasi di Media Husnul Khotimah)

Tidak ada komentar: