Sabtu, 30 Agustus 2008

Ahmad Tohari Sang Novelis

Ahmad Tohari

Sore berbalut hujan, ketika saya mengikuti acara Musyawarah Wilayah Farum Lingkar Pena Jawa Tengah. Kami peserta Muswil hanya berkesempatan selama satu jam untuk berdiskusi dengan penulis novel Orang-orang Proyek ini.

Adapun sebagian dari diskusi tersebut kami susun dalam bentuk wawancara (tentunya dengan seijin Ahmad Tohari) sebagai berikut:

Bagaimana pengamatan Bapak tentang Forum Lingkar Pena (FLP), sebagai generasi pelapis, kami ingin meneruskan generasi Bapak!

Saya merasa ikut mendorong lahirnya FLP sejak jamannya Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, Asma Nadia, ikut memperhatikan mendorong, memberikan ruang. Saya adalah orang yang selalu percaya bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang tetap, senantiasa tumbuh, ketika kalian ini pede aja di caci maki, dan terbukti penerbitannya cukup diperhitungkan. Bahkan ada yang mengatakan ada satu genre tersendiri yaitu genre FLP itu biarkan saja. Yang jelas bahwa generasi muda Islam itu wajib hadir di dunia sastra. Keyakinan ini saya rasakan betul ketika kedutaan besar Perancis mengundang 10 novelis dari Indonesia ternyata hanya saya dan Umar Khayam saja yang Islam. Kenyataan ini sangat buruk. Harus dibangkitkan anak-anak muda Islam supaya hadir dan benar-benar menjadi mayoritas, bukan hanya dalam jumlah tetapi juga dalam kesusatraan. Di dunia Islam ini pemikiran sufistis sudah disalurkan melalui fiksi, kadang-kadang pikiran saya ini nakal bahwa banyak hadits yang bentuknya itu cerpen. Misalnya 3 orang yang terjebak dalam gua. Kemampuan menulis seperti itu memang harus dikuasai anak muda untuk kepentingan Islam itu sendiri.

Bagaimana menterjemahkan fakta yang terpampang di depan kita untuk menjadi sebuah karya sastra?

Ada dua hal yang saya jadikan pegangan dalam hal menterjemahkan. Pertama: Tundukkanlah matamu terhadapp hal-hal yang mengandung maksiat. Kedua: Di segala apapun yang kamu lihat di sana ada bukti-bukti kebesaran tuhan.

Ada dua cara pendekatan untuk iqra terhadap fakta di depan mata. Pertama pakailah sensasimu, maka syetan yang akan masuk, kamu akan mengatakan yang buruk-buruk. Untuk pakailah akal bukan sensasi. Ketika akal yang berbicara syetan pergi, maka adakah bukti-bukti kebesaran tuhan dibalik fenomena itu. Maksudnya ada penulis yang memang harus tetap menundukkan kepala, dan harus ada pula yang harus berani tegak dimanapun berada.

Saya fikir dunia tulis menulis itu mencari bukti-bukti kebesaran Tuhan dimanapun. Jangan lupa syaratnya bismirabbikalladzi khalak, itu mutlak. Misalnya ketika kita melihat kotoran sapi, kalau sensasi yang bekerja maka jorok banget. Tapi coba pergunakan akal, kotoran sapi tersebut ditaruh dikaca mikroskop selanjutnya akan ditemukan berjuta-juta mikroba hidup di dalam kotoran sapi. Seluas itulah dunia yang kita hadapi sebagai penulis. Tapi kalau tidak siap maka jangan mencoba untuk tegak.

Kami melakukan program percepatan dalam bersastra (pemaksaan), apakah itu termasuk hal yang dibolehkan dan layak bagi seorang penulis? Atau Bapak mempunyai solusi lain?

Menulis itu sebetulnya bukan pekerjaan istimewa. Bisa dilakukan oleh siapapun, karena yang paling penting adalah proses, proses menjadi seorang penulis. Proses ini bisa berlangsung lama, bisa juga sebentar tergantung pada intensitas dan kapasitasnya, misalnya Cak Nun sangat cepat. Kalau saya seperti ada kewajiban untuk selalu membaca. Ini yang sering sulit untuk dilakukan membaca dan membaca. Saya telah membaca ratusan cerpen sebelum menulis cerpen, membaca ratusan novel sebelum membuat novel. Perlu juga bacaan-bacaan lain seperti sejarah, ekonomi, psikologi, perlu dibaca sebagai bekal, kalau kurang bekalnya nanti ketahuan seperti masakan kurang bumbu, kurang enak rasanya. Saya kira hal ini dianjurkan oleh agama kita sendiri. Ketika saya masih muda sehari semalam menulis 20 halaman, sekarang lain lagi ngantuk. Kalau umur 20 – 40 bolehlah memaksakan diri.

Kenapa ketika sedang menulis tiba-tiba berhenti di tengah jalan, gejala apa ini?

Kalau mau ke Jogya dari Solo satu liter tidak cukup, paling tidak 2,5 liter. Artinya menulis itu perlu bekal yang cukup, kalau bekal kita tidak cukup jadikan cerpen saja, kalau banyak bikin novel, itu soal kuantitas belum kualitas. Banyak orang bertanya kok Pak Tohari banyak menulis tentang binatang. Aneh kalau tidak merasakan tasbih di situ. Gejala angin, gejala air mengalir, itu iqra juga kan. Kita bertasbih dengan segala macam itu. Jangan lupa bismirabbikalladzi khalaq.

Seorang penulis tentunya mempunyai proses kreatif. Bagaimana proses kreatif yang dialami oleh bapak?

Saya sangat hobi membaca, juga membaca yang tidak ada hurufnya, kalau melihat kumbang anda mungkin bosan, saya perhatikan betul ada daun jatuh ada pertanyaan kenapa jatuh sekarang dan di sini kenapa bukan kemarin. Jadi pikiran kita rewel, akan terkumpul bahan-bahan karena kita selalu bertanya. Saya juga mempunyai hobi yang lain. Sejak SMP suka coret-coretan bermacam-macam bentuk seperti puisi, kolom, cerpen. Ternyata itu merupakan kunci bagi saya untuk menjadi penulis. Seluruh novel klasik Indonesia saya baca sejak SMP. Ketika saya mendapatkan buku rasanya seperti orang puasa hampir berbuka ingin segera membaca buku, menikmati hidangan di dalam buku hingga tuntas.

Keplesetnya saya jadi pengarang karena gara-gara ggal jadi dokter. Tahun ketiga FK ekonomi orang tua ambruk. Tadinya hobi diseriusi karena dapat honor lama-kelamaan senang. Inginnya melayani masyarakat dengan ilmu kesehatan, akhirnya melayani kehidupan ini dengan sastra. Menulis sastra itu sebenarnya mempertanggungjawabkan kehidupan ini bagi kehidupan, tapi sepertinya muluk banget untuk diomongkan. Jangan sampai membuat karya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Tantangan terberat bagi seseorang yang mendedikasikan diri menjadi seorang penulis itu apa?

Penulis kalangan santri kalau serius akan di terima di masyarakat. Masyarakat sastra itu mempunyai arogansi tersendiri. Karya-karya kita mungkin dianggap karya pop, mereka mengatakan gak ada kadar sastranya. Tidak apa-apa Mas Danarto di katakan sufi. Bagi saya itu semua nothing. Saya sudah mengalami sejak 30 tahun yang lalu. ketika saya digugat kok ronggeng yang ditulis, kenapa tidak santri.

Ketidaksukaan mengikuti proses, maunya cepat terbit, ini juga merupakan hambatan tersendiri.

Saya mengalami proses untuk menjadi seperti ini sampai delapan tahun. Bahwa kapasitas dan intensitas seseorang dalam proses menjadi penulis tidak harus selama itu. Kemudian kadang-kadang tidak pede, ini juga harus ditembus. Kalau tidak pede terus, kapan diterbitkannya. Kaki bukit cibalak saya gemetar kalau gak dimuat mungkin saya kapok. Ada hambatan penerbit terlalu ketat karena takut rugi. FLP bisa menempuh cara alternative bikin masyarakat pembaca sendiri, menyiapkan proses, kemudian membuang rasa kurang pede, membentuk pasar sendiri kalau mungkin.

Jangan lupa setiap kata yang ditulis minta pertanggungjawaban. Karena pada akhirnya fitrah kata adalah ciptaan tuhan. Jadi sebenarnya bermain-main memberdayakan kata sama artinya memberdayakan ciptaan tuhan. Sesuatu yang sangat dalam, maka jadikanlah kepenulisan anda tidak sia-sia.

(pernah dipublikasikan di majalah husnul khotimah)

Tidak ada komentar: