Jumat, 05 September 2008

Cerpenku

RUMPUN PADI

Sastro memandangi perbukitan dengan perasaan cemas. Hujan sejak sore tadi serasa tak mau bersahabat. Padahal tengah malam telah lewat. Hujan begitu lebat, kadang ditingkahi suara gelegar petir menyambar-nyambar membelah angkasa memekakkan telinga dengan loncatan bunga api listrik yang menyilaukan mata.

Di lereng bukit sana Sastro menggantungkan hidup. Sepetak sawah penuh tangkai padi yang tadinya menghijau subur telah mulai menampakkan hasilnya entah kini apa jadinya. Angin keras menampar jendela berderak. Pepohonan di luar menggigil tak lagi tegak, bahkan ada beberapa yang tumbang. Air hujan menyusup lewat sela-sela dinding bambu yang memang sudah banyak bolongnya di sana sini, genting yang tak lagi mampu menampung luapan air hujan yang juga sudah tak ada lagi bentuknya. Malam berselimutkan gigil.

Sementara itu ketiga anaknya merapat di dipan pucat kecemasan, ketakutan mendengar gelegar petir yang tak seperti biasanya. Alam benar-benar sedang tak bersahabat. Istrinya menemani dalam ketermanguan.

"Anak-anak, sekarang istirahatlah, usahakan bisa tidur nyenyak, besok pagi-pagi sekali kita harus bergegas." Sastro berkata kepada ketiga anaknya lebih nampak sebagai gumaman.

Tak ada satupun anak-anak itu yang menjawab kecuali kian merapatkan selimut usang masih dalam kecemasan. Apa yang bisa diberikan pada anak istrinya bila ternyata esok paginya tak lagi ditemui rumpun padi yang menghijau itu. Padahal jika tak ada musibah maka bulan depan padi itu telah menguning.

Tak biasanya musim begitu ganas. Ia berharap dalam hati semoga padinya masih terselamatkan. Meski tidak semunay. Tapi barang sedikit cukup lumayan untuk diberikan pada anak istrinya. Karena dari situlah satu-satunya sumber penghasilan. Ia berusaha melongok jauh kea rah perbukitan dengan harapan dapat melihat petak sawahnya. Sia-sia saja. Hujan lebat serta angin malam menghalangi pandangan. Malam begitu pekat. Batinnya tetap saja lekat pada sepetak sawah.

Sat-satunya yang bisa ia lakukan hanyalh memohon kepada Tuhan untuk melimpahkan kasih saying-Nya. Hujan segera reda. Padi tidak hancur oleh ganasnya alam.

* * *

Sastro bergegas menapaki pematang yang sebenarnya tidaklah begitu lebar. Tapi seolah berjalan di jalan raya. Sastro mempercepat langkah dengan nafas yang kian memburu. Diikuti dengan berlari-lari kecil, kadang melompat menghindari kubangan air, oleh kedua anak lelakinya yang belumlah begitu dewasa. Mentari timur belum nampak benar. Belum jelas beda antara benang merah dengan benang hitam. Sastro berkelebat bagai bayangan. Hatinya telah lekat pad arumpun padi miliknya. Ingin segera sampai ke petak sawah.

"Sogol, cepat Bantu bapak, kalau air ini tidak dibuang hancur padi kita"

Yang dipanggil Sogol tanpa menjawab segera turut serta membuat saluran dengan memotong pematang. Air segera mengalir cukup deras. Tadinya air rata dengan pematang, sepertiga tanaman padi terendam dalam genangan hujan. Adiknya turut serta membantu.

Air segera mengalir dengan kecepatan tinggi. Berangsur-angsur genangan surut, diikuti berkurangnya kecepatan aliran air. Sastro dibantu kedua anaknya berusaha memperlancar aliran air supaya genangan segera habis. Tanpa mempedulikan waktu yang kian beranjak ketiganya bekerja keras dengan harapan padi miliknya dapat terselamatkan. Bahkan mereka tidak menyadari sedikitpun bila hari itu matahari tak juga hadir. Tertutup awan tebal. Keringat mereka tetap saja bercucuran.

"Pak, di atas bukit itu..!" Sogol berteriak tak kesampaian. Dilihatnya puncak bukit bukan lagi hanya berawan tebal. Hujan mulai menderas. Pepohonan nampak penuh gigil. Dari kejauhan nampak adanya lontaran-lontaran yang tak begitu jelas seperti menuju perkampungan di mana salah satu rumah yang ada adalah milik mereka.

"Sudah, jangan berkeinginan untuk bermain di atas bukit. Sekarang Bantu bapak memberesi tanggul ini."

"Pak..!"

"Jangan banyak omong. Jika tak segera kita selesaikan hancur padi kita tergenang semua. Selama tiga bulan kita tidak makan apa-apa."

Tiba-tiba petir menyambar-nyambar penuh gelegar. Hujan segera mengguyur tubuh-tubuh itu tanpa peringatan. Air sungai sekitar limaratusan meter dari sawah mereka segera meluap.

"Pak, aku harus pulang menyelamatkan mak, sepertinya…" Sogol tanpa menyelesaikan kata-katanya segera melesat meninggalkan adik dan bapaknya. Sastro tercekat segera menyadari keadaan. Sogol kian mempercepat langkah. Tak lagi mempedulikan bapak dan adiknya. Sementara itu Sastro segera menyusul demi diingatnya sungai yang harus dilewati cukup deras arusnya. Sayang Satro terlambat. Sogol telah mencebur ke sungai begitu bapaknya tiba di bibir sungai.

"Sogol! Jangan teruskan! Kembali.."

Sia-sia Sastro memanggil-manggil. Sogol nekad menyeberang. Sekonyong-konyong dari hulu bah membesar kian pekat. Meluap hingga sungai tak mampu lagi menampungnya. Sawah-sawah kembali tergenangi tidak hanya oleh air tapi Lumpur pekat kecoklatan dan kerikil-kerikil banyak yang tersangkut. Praktis rumpun padi yang tersisa tak berbentuk lagi.

Sogol tersentak sedang berada di tengah-tengah. Kembali tak mungkin. Melanjutkan lebih susah. Tiba-tiba sebatang kayu menyodok tubuh Sogol hingga terjatuh. Sogol berusaha menggapai-gapai. Sastro tak mampu berbuat apa-apa. Terlalu banyak sudah air bah masuk mulut Sogol. Dan hilang.

"Sogol..! Sogol..di mana kau nak?"

Berulang-ulang Sastro berteriak memanggil-manggil. Ditunggunya terus hingga hujan mereda. Dipanggilnya terus hingga suara serak hilang ditelan suara arus air yang tak jauh lebih keras. Ditunggunya sampai hari beranjak malam ditemani anaknya yang kecil hingga bertemu pagi kembali. Hingga sungai benar-benar surut Sastro baru mneyadari bahwa ia telah kehilangan anaknya untuk selama-lamanya. Dengan langkah gontai anaknya yang tersisa digendong pulang. Sesampai di perkampungan Sastro hanya tinggal menemui puing-puing rumah yang telah hancur ditelan bah. Sisa-sisa air masih banyak menggenang.

Kini Sastro tidak sekedar kehilangan rumpun padi yang seharusnya meranum. Hari depannya telah hancur. Anak lelaki tertuanya hilang ditelan sungai yang mengganas. Tidak hanya itu istri dan anak bungsunya yang belum genap empat tahun tak jelas kemana. Kini hanya tinggal seorang anak. Tanpa rumah. Tanpa rumpun padi. Tanpa seorang istri.

Purwokerto, 27 Januari 2000

(Pernah dimuat di Radar Banyumas)

Tidak ada komentar: