Sabtu, 13 September 2008

CERPEN

PAGEBLUK

Oleh: Sunarno

Aku tercenung di depan batu nisan. Belum lama berselang para pengantar jenazah kembali pulang. Sebuah kematian yang teramat kuat lekat dalam ingatan. Ayahku adalah orang keempat. Tidak sampai bilangan mingguan. Tak tahu harus berbuat apa. Tak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Nyaris aku menggugat Tuhan. Berkelebat secuil curiga teringat cerita ilmu sesat. Materi di luar pelajaran mengaji masa kanak-kanak.

"Ayo Di, kita pulang!" Ahmad ternyata masih ada disampingku. Menggamit pundakku lembut. Aku manut saja. Tanah merah segera kami tinggalkan.

"Aku bisa memahami perasaanmu Di! Meskipun demikian kita harus yakin bahwa ini merupakan kersaning Gusti Allah. Bahwa takdir Allah tak mungkin kita tolak". Rupanya Ahmad menangkap kelebat curiga.

"Tapi darah itu Mad?"

"Masih ingat kan Di, kata Ustadz Amir saat kita sama-sama mengeja juz amma?"

Ahmad menyeretku ke masa lalu. Saat-saat indah di surau di seling cambukan rotan Ustadz Umar. Tidak pernah memukul benar kecuali demi keseriusan kami mengaji. Tapi peristiwa di liang lahat itu mneyita sebagian besar pusat kesadaranku.

"Kenapa musti ayahku? Kenapa… ah, tidak! Astaghfirullah!" kutahan kuat-kuat untuk tidak menyebut laku menyimpang. Meski hati kecil tatap meragu. Teringat kata Dokter Mono tiga orang sebelumnya mengidap muntaber. Muntah-muntah dan menggigil kedinginan. Ada yang nyaris gila. Lantas ayahku? Tak selazimnya mayat-mayat. Saat dimiringkan ada kucuran darah dari mulut.

"Kita tunggu berita dari Dokter Mono. Kita sebagai manusia sudah berikhtiar. Ternyata Allah menghendaki lain. Aku yakin itu penyakit yang wajar. Sudahlah Di! Yuk, kita jamaah Dhuhur!"

* * * *

Dokter Mono dating ke Dukuh Kopen tak sendirian. Alat-alat pengasapan sebagai buah tangan. Warga kopen diberi pengertian. Deretan kematian harus segera dihentikan. Syaratnya masyarakat harus memberi dukungan. Bukan sekdar mengiyakan. Tapi nyata-nyata sarang nyamuk harus ditiadakan. Tak ada kata terlambat, tidak mengenal batas kadaluwarsa. Zat malation diyakini bisa mencegah korban berjatuhan. Jentik-jentik nyamuk tak lagi bisa berkembang. Nyawa manusia terselamatkan. Endemic demam berdarah bisa dimusnahkan. Asal tak satu sudutpun terlewatkan. Harus serentak. Aku masih dengan sepenggal keraguan. Benarkah itu penyebab kematian ayah? Darah di liang lahat itu sangat sulit untuk kulupakan. Bukan maksudku meremehkan kepiawaian Dokter Mono. Tidak sama sekali. Ini di luar jangkauan ilmu kedokteran. Entah menurut Ustadz Amir.

Dokter Mono tak bosann-bosannya memberi pengertian. Kematian memang urusan Tuhan, tapi kita layak mengupayakan kesehatan. Usaha dulu, tawakal kemudian. Dokter juga para mantri puskesmas tak pernah lepas menyambangi kampung. Kebersihan lingkungan selalu digalakkan. Rumah gedhek atau gedongan tak ada pembedaan. Program ini meski berkelanjutan. Ustadz Amir mempertegas dalam khutbah jum'atan.

Warga Kopen tak ada tuntutan. Wajar tak banyak mengenal ilmu kesehatan. Memerah susu tetap jadi menu harian. Kematian empat warga bukanlah pertanda suram. Percaya akan usaha Dokter Mono dan kawan-kawan. Anak-anak kembali riang bermain di pelataran. Entah jelungan, mungkin pula jamuran, sambil menikmati purnama. Seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tapi aku tetap merasa kehilangan. Alhamdulillah tak lagi memendam bayangan permainan supranatural. Itu sekedar dongeng anak-anak, yang kini tak lagi layak. Tinggal potongan-potongan kenangan.

Tiba-tiba Kampung Kopen menjerit.

Kentongan tanda lelayu bertalu-talu. Tak ada berita sebelumnya orang sakit parah. Orang-orang penuh Tanya. Bergegas menjumpai kenyataan mendiang baru saja muntah-muntah dan mengeluh kedinginan. Konon beraknya campur darah. Tidak sampai berganti bulan belasan nyawa hilang. Dokter Mono geram malation ternyata tak juga mempan. Puskesmas kalang kabut tak mengerti makna kejadian. Jentik-jentik nyamuk sudah dipastikan tanpa menyisakan generasi. Saying kematian yang teramat membingungkan tak lagi terhindarkan. Merobek ketenangan Kopen. Bupati dan Dinkes gerah merasa kecolongan. Berita meluas secepat angin menjalar. Kopen menjadi berita besar. Saying berita suram.

Semuanya geram. Entah apa yang musti dilakukan. Dokter saja keheranan. Kopen jadi muram. Entah apa yang menyebabkan kejadian itu dating. Banyak desas-desus berseliweran. Kebetulan memang habis ada pertunjukan wayang. Praktis jadi salah satu sasaran kemarahan. Aku nelangsa emikirkan itu. Pastilah beban yang ditinggal jauh lebih berat dari apa yang pernah aku rasakan. Bukan tak sanggup melangsungkan upacara kematian. Tapi hati serasa disayat-sayat oleh ketidakpastian. Kejadian berlalu tanpa kejelasan. Ditindih tuduhan-tuduhan tanpa kenyataan.

"Ini gara-gara Pak Wondo. Kita kena pagebluk." Mbah Ranu marah-marah ketika malam-malam kami sedang jaga di gardu ronda.

"Pak Wondo? Apa yang telah dilakukannya terhadap kita? Sepertinya tak ada apapun." Lik Tugi tak mengerti arah pembicaraan Mbah Ranu sambil mengunyah kacang goreng.

"Coba perhatikan sebelum kematian si KArto itu, Pak Wondo kan baru saja nanggap wayang sewengi nutug. Anak-anak kita pada kepincut, tidak beringsut hingga ayam jago ramai bersahutan menyambut pagi menjelang…"

"Lantas hubungannya apa Mbah, wayang yang ditanggap pak Wondo dengan kematian bapakku?" potongku cepat. Aku tidak sreg dengan omongan mbah Ranu. Ayahku yang dipergunjingkan. Aku pernah menaruh syak pada seseorang. Tapi kini aku lebih meyakini scenario sang maha dhalang. Bukan dhalang yang diatnggap Pak Wondo itu. Dialah sang maha penentu segalanya.

"Oalah to Le! Kamu tto anaknya Ki Karto itu! Syukurlah kamu ada di sini, jadi kamupun harus tahu…" Mbah Ranu tiba-tiba diam. Seakan sengaja meneror perasaanku. Darahku memenuhi ubun-ubun.

"Sudahlah Mbah apa maksudnya, jangan membuat orang bingung begitu.: pinta Kang Bejo kemudian.

"Tak adakah kalian satu orangpun yang curiga?"

"Akh aku semakin tidak mengerti Mbah. Memangnya apa yang telah dilakukan oleh Pak Wondo. Ia menyembelih kambing dibubuhi racun begitu? Toh, masih banyak di antara kita yang tetap segar bugar. Tanda-tanda keracunan pun tidak ada." Lik Tugi menanggapi dengan guyon.

"Ya, benar kita telah diracuninya!"

Aku tersentak. Tidak mungkin. Itu mustahil. Saying kata-kata itu hanya berhenti di kerongkongan. Ustadz Amir yang sedari tadi diam nampak gelisah. Tak ada satupun di antara kami yang mempunyai bukti. Lik Tugi terbengong-bengong. Kang Bejo tak jadi menyantap kacang goreng.

"Kita sedang kena pagebluk karena Pak Wondo itu syaratnya kurang kalau tidak mau dikatakan menolak. Itulah ujud racun itu." Mbah Ranu kembali merobek ketidakpastian.

"Syarat? Syarat nopo to Mbah?"

"Oalah Le, kamu memang masih terlalu muda untuk mengerti, tapi bapakmu itu korban pertamanya. Kamu tentu tidak akan pernah lupa dari mulut…"

"Cukup Mbah! Jangan ungkit-ungkit itu lagi!" seketika aku berdiri tegak. Memotong kata-kata Mbah Ranu. Entah kekuatan dari mana hingga tata krama terhadap Mbah Ranu kuterjang. Aku seolah sedang membela diri atas vonis yang tak semestinya terhadap ayahku. Meram padam mukaku. Tak tahan saat-saat menegangkan di liang lahat itu diungkit-ungkit orang. Ustadz Umar memegang tanganku lembut memberikan ketenangan.

"Tapi ini kenyataan Le. Bapakmu jadi tumbal pertama atas laku lancing Pak Wondo dalam membuat sesaji. Mungkin ia sengaja menolak permintaan ki dalang. Rasa-rasanya kok mustahil kalau ki dalang sendiri yang berbuat senekat itu. Kalaupun lupa, bagaimana mungkin seorang dalang lupa pada pantangannya sendiri. Sejak dulu Pak Wondo kan orangnya begitu. Anti sesaji-sesajian."

"Tidak! Itu tidak benar! Kematian bapakku tidak ada sangkut pautnya dengan…"

"Le, kamu belum banyak tahu merah hitamnya hidup ini. Siapa saja bisa berbuat licik untuk keuntungan dirinya, keluarganya atau juga kelompoknya. Tak peduli nyawa orang lain jadi taruhannya. Manis di mulut belum tentu sesuai dengan kenyataan."

Omongan Mbah Ranu termakan juga oleh banyak orang. Seperti angin tak terbendung. Segera menyebar hingga ke setiap telinga penghuni kampung. Pembelaanku nyaris tak bermakna. Ustadz Amir belum juga mau ambil bagian. Dokter Mono pun tak sanggup membendung arus yang tak pasti.

Aku terkesiap. Astaghfirullah. Sejauh itukah? Ini sudah kelewatan. Tuhan dipersamakan dengan makhluk-makhluk yang takjelas juntrungannya begitu. Tuhan tidak membutuhkan sesajian. Ini tidak bisa dibiarkan. Kusampaikan keresahanku pada Ustadz Umar.

"Ada benarnya juga kata-kata Mbah Ranu!" komentar Ustadz Amir membuatku limbung. Nyaris tak percaya. Ustadz Amir orang yang paling aku percaya ternyata…

"Tapi Tadz?" aku jelas-jelas protes, tak habis mengerti mengapa Ustadz Amir kini telah berubah.

"Nanti duluu aku belum selesai."

"Apa maksudnya?"

"Tunggu besok jum'at!"

Aku tak puas. Ustadz Amir tetap tak mau melanjutkan. Desas-desus tetap terbawa angin. Entah apa yang terjadi pada Pak Wondo. Betapa pedihnya dianggap sebagi sumber petaka.

"Benar adanya kita sedang kena pagebluk. Bukan karena laku seseorang di antara kita. Kita semua telah sombong pada Tuhan. Merasa telah kaya dengan susu-susu yang kita perah tiap pagi. Padahal siapa yang mengalirkan susu itu? Pernahkah kita menunaikan sesuai dengan haknya? Ada sebagian yang harus kita sisihkan buat hati kita. Nyatanya tidak demikian. Tuhan murka kepada kita berupa pagebluk. Tuhan dalam mneimpakan pagebluk tidak hanya memilih orang per orang tapi semua warga. Entah dia itu kyai atau pencuri. Semua memiliki tanggung jawab yang sama. Pagebluk ini akan segera berlalu kalau kita bersedia kembali kepada Tuhan…" di khotbah jumat yang dijanjikan Ustadz Amir mencoba mengajak kembali pemahaman masyarakat tentang musibah.

Nah, lho jadi…

Purwokerto, Maret – April, 2002

(Dimuat dimajalah Husnul Khotimah Edisi September 2008)

Tidak ada komentar: